8). Uncontrollably Wave

37 23 25
                                    

"See, Brother?" Suara Jason terdengar menantang dari belakang. "Rowena is... is... aaargh! Susah bener ngomong Bahasa Inggris kayak sok-sokan jadi bule! Dahlah! Intinya, gue tahu sebenarnya Rowena suka sama gue. Lo perhatiin aja caranya natap gue. Kayak angkuh-angkuh butuh direngkuh gitu, nggak, sih? Ck, gue jadi teringat sama Aisaka Taiga."

"Aisa—–siapa?" Niatnya pengin menyela teorinya, tetapi nggak jadi waktu mendengar sepotong nama itu. Siapa pula Aisaka Taiga? Perasaan, nggak pernah ngenal.

"Aisaka Taiga."

"Hah?! Siapa dia? Gue pernah ketemu belum?" Gue auto nge-lag.

"Mungkin bisa dinegosiasikan setelah masa hidup lo habis di dunia. Itu pun kalau lo diberi kesempatan untuk dipertemukan sama Aisaka Taiga." Gue spontan sadar kalau kelemotan gue ternyata lagi kumat usai disindir oleh Jason.

Gue lebih seringnya melakukan kebiasaan aneh; kayak memiliki sindrom lambat mikir, tetapi herannya, gue nyadarnya dalam situasi yang tak terduga juga. Yaaa... kurang lebih kayak yang baru saja terjadi ini. Gue bisa langsung 'ngeh' kalau sepotong nama tadi adalah salah satu nama dalam tokoh anime. Iya, ya. Jason ini, kan, wibu. So, sudah pasti menyangkut-pautkan dan membanding-bandingkan segalanya dengan dunia anime-nya itu.

Oh, iya. Saking fokusnya gue dengan Aisa-aisa tadi, gue hampir lupa dengan Rowena. Ternyata waktu kepala gue balik lagi, cewek itu udah siap di depan dengan sebelah alis terangkat.

Jason lagi-lagi tidak membantu. Dengan dengkusan penuh ejekan, dia malah ngeledek gue sebelum maju sedikit dan mendorong bahu gue ke samping dengan bahunya agar bisa berhadapan langsung dengan Rowena.

Sia*an. Segampang itu, ya, bikin gue mati gaya? Mana dorongnya kuat lagi. Untungnya, gue mempunyai keseimbangan yang cukup bagus meski sempat oleng selama beberapa saat karena aksi yang tidak disangka-sangka ini.

"Hai, Kak." Jason menyapa Rowena dengan lembut diselingi senyuman maut yang biasa dia lakukan untuk 'menghipnotis' kaum hawa yang mentalnya lemah.

Mengapa gue bilang lemah? Ya, iyalah! Senyuman doang! Nggak perlu kata-kata indah untuk memantaskan diri, lo hanya perlu sedikit aksi untuk mementaskan diri. Eakkk! Gue juga bisa, cuman... nggak suka jadi populer saja. Gue mau melewati hari demi hari dengan ketenangan tanpa digosip punya kecengan ini-itu macam Jason. Gue juga butuh ketenangan untuk mengejar prestasi.

Tapi yaaa gitu, deh. Kayaknya sudah menjadi kodratnya bahwa manusia nggak akan pernah bisa menjalani takdir sesuai keinginan. Gue yang butuh ketenangan malah diberikan cobaan untuk menghadapi 'badai' yang tak terkendali ini.

Makanya, gue jadi penasaran soal kucing itu. Bakal sampai kapan, ya, gue bertukar jiwa sama dia? Sebenarnya, apa tujuan gue berpindah kayak gini?

Rowena diam saja, tapi bagi gue, reaksinya atas sapaan Jason sudah sangat manusiawi. Bagaimana tidak? Jason termasuk beruntung karena biasanya tanggapan Rowena sama teman-teman sekelas kalau bukan dikacangin, ya bakal dapat penampakan muka masam.

Gue yakin ini sebagai bentuk apresiasi karena Jason adalah adik gue. Muka kami berdua yang hampir identik pastilah membuat Rowena merasa nggak enak kalau melakukan dua hal seperti gue sebutkan tadi. Benar saja, gadis itu mengalihkan atensinya ke gue seolah memberi kode untuk menariknya lepas dari situasi ini.

Oke, fix. Gue juga butuh Rowena untuk mendiskusikan banyak hal. Ya, banyak yang mau gue tanyakan ke dia.

"Kenal-kenalannya nanti aja, ya. Ada tugas yang harus gue kelarin sama Rowena." Gue beralasan ke Jason dan bersumpah kalau Rowena tampak senang dengan hal ini. Jika mikir positif, gue menebak kalau cewek ini sebenarnya anti kalau diajak kenalan sama cowok.

"Ish. Abang ganggu aja." Jason mendumel, tetapi kekesalannya tidak lama karena dia berujar lembut pada Rowena lagi. Ujung bibirnya yang sempat berkedut karena ngambek, otomatis tertarik menjadi cengiran khas orang ganteng.  "Sampai ketemu lagi, ya, Kak."

Jason menutup sesi sapaannya dengan kesopanan yang terlalu berlebihan sampai-sampai harus ber-dadah-dadah riang di ambang pintu perpustakaan. Tingkahnya gemesin, tapi kenapa malah gue yang malu?

Duh, punya adik yang tebar pesona gini amat, ya, rasanya.

Rowena berjalan terlebih dahulu menuju area yang lebih privasi karena ada banyak sekat yang memisahkan antara satu kursi dengan kursi lain, jadi seperti ruangan khusus buat yang mau belajar solo. Gue menghargai pilihannya, bahkan setuju karena lagi-lagi gue merasa dia seperti cenayang yang bisa membaca isi pikiran orang lain.

Atau apakah karena dia risih kalau ketahuan duduk semeja dengan gue? Ah, iya. Bisa jadi. Sudah cukup duduk sebangku sama gue di kelas, ditambah insiden bersandar sama dia gara-gara jiwa kucing, gue jadi iba sama Rowena.

Sebab kalau gue jadi dia, gue bakal pindah tempat duduk, sih. Seharusnya, gue bersyukur karena reaksi Rowena masih terbilang stabil.

"Hmm... sebelum gue cerita ulang, gue mau minta maaf dulu, ya." Gue berbicara dengan nada selembut mungkin, berharap dia bisa merasakan ketulusan gue. Gue pure nggak enak dengan yang telah terjadi selama dua hari ini.


Bersambung

Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang