6). It's Her Cat!

64 24 45
                                    

Tanpa menunggu lebih lama, gue segera menegakkan tubuh usai melakukan semacam perenggangan. Gue kira bakal aneh karena cara stretching ala kucing berbeda dengan yang biasa seorang manusia lakukan, tetapi herannya, gue bisa melakukannya secara alamiah seolah-olah sudah terbiasa.

Ya sudahlah, ya. Yang penting, gue perlu mencari tahu siapa pemilik kamar sekaligus majikan kucing oranye ini. Gue mulai memperhatikan seisi ruangan dan langsung bisa menyimpulkan kalau ruangan yang memiliki luas 4x4 meter ini adalah milik seorang cewek. Gue nggak tahu apakah tatapan tajam yang gue miliki sekarang layak disebut beruntung atau tidak, tetapi lewat mata kucing ini, gue bisa melihat segala sesuatunya dengan sangat baik hingga barang kecil sekalipun.

Praduga gue benar tentang pemilik si kucing yang identitasnya adalah pelajar SMA Bernard. Gue mengenalinya dari seragam yang menggantung di tiang penyangga, lengkap dengan plastiknya yang segera gue pahami kalau itu adalah seragam bersih yang baru keluar dari penatu. Lalu, ada... hei! Itu, kan, jaket denim gue! Gue yakin itu milik gue karena ada insial J.M. di salah satu ujung lengannya.

Gue mencoba maju untuk melihat nama di seragam itu lebih dekat, lalu—–lagi-lagi—–merasa takjub sendiri. Gue jadi merasa ini ada kaitannya dengan naluri si kucing yang masih melekat sehingga gue bisa melakukan semua hal aneh ini tanpa hambatan yang berarti.

Meskipun demikian, gue tetap merasa kesulitan membaca nama di name tag seragamnya karena letaknya yang terlalu tinggi. It's beyond my sight tolerance. Mau setegak apa pun kepala gue sampai membentuk garis lurus, gue tetap nggak bisa menangkap tulisan yang tercetak di sana. Gue harus menaiki meja.


Ternyata sensasinya lumayan menyenangkan. Gue merasa ringan dan sama sekali tidak takut dengan ketinggian sehingga yang awalnya gue kira bakal sulit menjangkau meja yang tingginya  delapan kali tinggi gue, kini bagi gue adalah hal sepele sekarang.

Sepertinya, gue mulai terbiasa mengontrol tubuh si kucing.

Oke, akhirnya sampai. Kira-kira siapa, ya, namanya?

Oh, Rowena namanya. Rowena Hanasta, nama yang bagus... WHAT?!

ROWENA HANASTA YANG ITU? DIA, KAN, TEMAN SEBANGKU GUE—–

Kata-kata gue terpotong dengan sendirinya sebelum serentetan kejadian yang terlalu mendadak membuat gue kelimpungan. Ada secercah cahaya yang muncul di kaki gue, yang kemudian gue sadari sinarnya bersumber dari bekas luka yang dimiliki kucing ini.

Sensasinya begitu magis karena cahaya itu berpendar dramatis sebelum menyilaukan mata gue. Lantas anehnya ketika indra penglihatan gue berfungsi kembali, segala sesuatunya berubah seketika.

Gue langsung paham kalau gue sudah kembali ke raga gue. Gue kembali menjadi manusia, menjadi seorang siswa bernama Julius Mahendra.

Namun, gue belum lagi selesai membiasakan diri dengan efek transmigrasi yang tiba-tiba karena—–seolah dejavu—–banyak siswa memelototi gue. Oke, lagi-lagi gue ketiduran di kelas. So, apakah lagi-lagi gue ndusel-ndusel manja ke Rowena?

Gue mengalihkan tatap ke gadis yang nama lengkapnya terbordir di name tag-nya.

Oke, kayaknya gue harus ngasih tahu dia. Setidaknya, dia harus tahu kalau gue dan kucingnya melakukan semacam transmigrasi. Ah, tapi... gimana kalau dia nggak terima, trus nuntut yang aneh-aneh?

Rowena ikut mengalihkan atensinya ke gue. Ekspresinya tak bersahabat, lebih tepatnya angkuh. Garis rahangnya terlihat kokoh, menjadikan aura pemimpinnya semakin kuat.

Menurut gue, Rowena itu perfect karena wibawanya selaras dengan kepintarannya di sekolah, juga background yang dia miliki.

Berbeda dengan gue yang mempunyai celah dalam mencetak prestasi.

"Julius."

"Y-ya?"

"Bisa, kan, jangan dekat-dekat?" Rowena memandang gue dengan tatapan khasnya yang menusuk. Tanpa menjelaskan, gue juga tahu kalau dia super ilfil sama gue.

"Oh." Gue berjengit saat menyadari kalau jarak antara gue sama dia terlalu dekat, hampir tak berjarak. Gue jadi malu, tapi lebih malu lagi kalau nggak sanggup menjelaskan.

Gue ini cowok, nggak boleh jadi pengecut!

"Rowena, aku—–kucing, eh, maksud gue...."

"Hah?"

"Aku—–kucing kamu, maksudnya. Kucing kamu ada di rumah. Tunggu, bukan itu. Aku salah ngomong."

Duh. Kenapa jadi gagu gini, ya, ngomong sama dia?

"Lo ngomong apa, sih?" tanya Rowena dengan intonasi nada tinggi, tetapi gue masih sempat-sempatnya merasa terkesan karena mendapati cara bicaranya yang mengunakan format lo-gue.

Ketika dia lebih seringnya ngomong saya-kamu ke siapa saja, ke gue malah berbeda. Gue jadi sedikit tersanjung. Serius, sedikit aja.

"Kucing lo sama gue berpindah tubuh. Maksud gue... mungkin ini terdengar nggak masuk akal atau apa, tapi kalau gue ketiduran, terutama di dekat lo, gue bakal bertukar tubuh sama kucing lo. Jadi jangan salah paham, ya?"

Benar, gue jadi 'ngeh' waktu ngomong sama Rowena. Transmigrasi ini hukumnya berlaku jika gue ketiduran di dekat cewek itu. Gue yakin sekarang sebab semalam waktu tidur sendirian di kamar, gue nggak tukeran tubuh sama kucing Rowena, kok.

Ekspresi Rowena tak terbaca, tapi betapa takjubnya gue saat mendengar reaksinya. Lo tahu apa yang dia bilang?

Dia responsnya gini;

"Tungguin gue di perpustakaan jam istirahat kedua nanti."

Bersambung

Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang