18). Is Jule Really That Wicked?

3 1 0
                                    

"JASON, HEI! BANGUN, JASON! LO KENAPA?! JASON! JA--"

"Tenang dulu, Julius."

"JASON! JASON! JASON!"

"Julius."

"JASON, PLIS!"

"HEH! LO DENGER GUE, NGGAK?!" Rowena jadi ngegas, membuat emosi gue langsung naik. Gimana gue bisa tenang, Rowena? Jason nggak sadarkan diri dengan Jule di atasnya! Lo kira gue bisa santai, apa?!

"Kita harus ngelakuin sesuatu! Kenapa lo malah nyuruh gue kalem?"

"Nggak ada yang bisa kita lakuin karena udah telanjur." Wah, nggak nyangka gue. Bisa-bisanya lo anteng begini ketika ada orang yang pingsan di depan lo. Terlebih, gue yakin nggak ada yang bisa menangani Jason dengan normal sebab gue tahu semua ini ada hubungannya dengan insiden perpindahan jiwa. Mana ada yang bakal percaya, 'kan?

"So, kita diam aja? Itu solusi terbaik menurut lo, hm?" Gue tersenyum, tetapi tarikan bibir gue jelas bukan senyuman bersahabat. Orang bego juga bakal tahu kalau gue sedang menyindir.

"Alasannya karena gue yakin Jule nggak akan menyakiti Jason." Rowena tetap menyuarakan asumsinya pelan. Saking tenangnya, gue merasa dia cocok menjadi cenayang yang jago memprediksi masa depan.

"Yakin dari mana lo? Gimana kalau Jason mengalami yang terburuk atau yang kayak dia bilang, 'kucing berniat menguasai jiwa manusia'?" Intonasi gue semakin meninggi. Bodo amatlah kalau Rowena tersinggung. Jujur, gue udah takut sekarang. Andai saja waktu bisa diputar kembali, gue lebih memilih berada di posisi Jason ketimbang dia yang menggantikan.

Lo bego amat, Jason! Kenapa, sih, lo malah menggantikan posisi gue? Kenapa lo harus merasakan kondisi yang udah lo prediksi sebelumnya? Kenapa lo harus terlibat? Kenapa?

"Eh, eh! Lo ngapain?" Rowena menahan tangan gue sewaktu merasakan tanda-tanda mau menyakiti diri sendiri. Di saat seperti ini, gue menyayangkan kepekaannya. Kenapa lo nggak bisa bergerak secepat buat Jason?

"Plis, gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan sekarang." Gue frustasi seiring air mata yang menetes perlahan satu demi satu seakan ikut mendramatisir. Gue menatap Rowena langsung ke mata dan tanpa berkata-kata, dia pasti bisa merasakan sebesar apa ketakutan gue. Nggak tanggung-tanggung, tangan gue sampai gemetaran sampai-sampai gue harus menyatukannya biar nggak terlalu kentara.

Jujurly, gue memang udah desperate banget.

Jason mungkin bukan adik yang sempurna, tapi setidaknya hari-hari gue lebih berwarna jika ada dia. Setidaknya gue bisa belajar cara menjadi abang yang baik--ah, nggak. Gue gagal. Gue gagal melindungi adik gue sendiri.

"Jason, plis. Bangunlah." Gue memohon pada Jason yang bisu seperti pasien yang mengalami koma. Gue nggak peduli dengan air mata yang terus menetes, persetan jika harus malu karena menangis di depan orang lain. Gue juga nggak melihat ekspresi Rowena. Terserah kalau dia mau ngetawain gue.

"Lo mau ke mana?" tanya Rowena saat gue bergerak untuk mengangkat Jason dengan cara memeluknya dari depan. Jule sudah gue dorong ke samping dengan agak kasar. Jangan salahin gue karena dialah akar dari segalanya. Benar kata Jason, seharusnya gue jauh-jauh dari dia. Sekali lagi ... Jason benar, tapi apalah daya, semua sudah terlambat. Nggak ada gunanya menyesal.

"Gue mau bawa dia ke rumah sakit."

"Dokter nggak bakal percaya. Palingan, Jason akan diprediksi mengalami koma karena gagal jantung."

"Ya, trus ... gue mesti ngapain, dong?! Bisa nggak, sih, jangan terlalu santai begini? Lo punya hati nggak, sih? Gue tahu Jason hanya sebatas angin lalu buat lo! Jangankan dia, gue tahu gue juga dianggap angin lewat sama lo, ya tapi nggak gini juga!"

"Tiga pertanyaan, dua pernyataan. Pertama, beri mereka waktu setengah jam dari sekarang, setelah itu, gue bakal iyain apa yang mau lo lakuin. Kedua, gue bukan santai, gue hanya pribadi yang lebih suka menggunakan logika ketimbang mengandalkan perasaan. Ketiga, kalau nggak punya hati, gue pasti mati. Trus untuk pernyataan, gue hanya bisa merespons kalau yang satu benar dan satunya lagi salah."

"Hah?!"

"Pernyataan lo tadi. Dua kalimat, 'kan? Satu benar, satu salah."

Gue belum kunjung paham, tetapi sayangnya Rowena nggak berniat menjelaskan lebih lanjut. Jadilah gue hanya bisa terdiam dan berharap semesta berbaik hati untuk segera membangunkan Jason.

Meskipun kecemasan gue belum berkurang, nyatanya ada keadaan lain yang membuat gue merasa sedikit lebih baik. Mungkin ungkapan kepala dingin sebagai obat penyelesaian masalah valid adanya karena seenggaknya, ada yang bisa berpikir jernih.

Gue nggak bisa bayangin apa yang terjadi kalau sampai menghadapi Jason yang pingsan tanpa ada siapa-siapa di samping gue. Bukannya nggak mungkin gue bisa melakukan kecerobohan fatal lainnya.

Semisal membunuh Jule, mungkin?

Bisa jadi. Katanya suka dan benci dibatasi oleh garis tipis, 'kan? Orang yang dulunya maniak kucing bisa saja jadi fobia kucing keesokan harinya.

Nah, berlaku juga buat gue. Jika memang Jule sejahat yang diprediksi oleh Jason, gue nggak akan memaafkan dia.

Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang