19). Jule's Important Messages

3 1 0
                                    

Tepat ketika masa setengah jam berakhir, kesabaran gue di detik itu juga sudah habis. Melihat Jason tak kunjung sadarkan diri membuat gue semakin nggak tenang. Bagaimana jika adik gue sampai kenapa-kenapa? Yang ada, gue nggak bakal hidup tenang dan terus dihantui perasaan bersalah.

Gue nggak bisa. Gue nggak tenang. Gue nggak tahan.

"Row—–" Suara seperti rintihan di ranjang berhasil menginterupsi. Gue langsung excited, kayak menemukan harta karun selagi meyakini diri kalau gue nggak lagi berhalusinasi.

Benar, Jason menunjukkan pertanda kalau dia telah sadar dari pingsannya. Gue langsung terharu macam ibu-ibu yang dipertemukan kembali dengan anaknya setelah lama menghilang.

Jason, gue janji, gue akan menjadi abang yang lebih baik lagi mulai detik ini.

"Jason, gimana keadaan lo? Lo baik-baik aja, 'kan? Jawab gue, plis. Jawab gue supaya gue tahu kalau lo bukan orang lain."

"Julius." Terdengar suara Rowena yang memperingatkan. Gue tahu gue terlalu mendesak Jason dan mungkin dia memerlukan sedikit waktu untuk sadar sepenuhnya, tapi gue udah kepalang cemas. Gue nggak bisa tenang sebelum dia menjawab gue.

"Jason, Jason. Lo baik-baik aja pokoknya, 'kan? Coba sebut, ini berapa?" Gue mengarahkan tangan di atas wajahnya, lalu membuka lebar-lebar kelima jemari gue.

"Julius."

"Rowena, lo boleh ngomel, tapi tunggu setelah Jason jawab, ya? Oke?" Gue menatapnya dengan tatapan mencela.

"Please stay calm, you'll just make him get shocked."

"T-tapi—–"

"You are the most impatient person that I've ever met. Surprisingly, for calm person like you."

"Jason's case can't be solved calmly, okay?" Gue jadi marah, kesal saja karena dia nggak bisa mengerti apa yang gue rasakan. Mungkin dia belum pernah merasakan berada di titik hampir kehilangan.

"Bang." Akhirnya suara Jason berhasil menenangkan emosi gue meski nadanya terdengar sangat lemah.

"Jason! Akhirnya! Thanks, God, you save him!"

Jason tersenyum, tetapi gue menangkap sorotan matanya yang agak berbeda dari biasanya. Gue nggak mau memaksa, sebab gue tahu kalau Jason membutuhkan waktu untuk 'memulihkan' diri seperti yang dikatakan Rowena tadi. Bagi gue sudah cukup Jason mengeluarkan suara sebagai formalitas. Yang penting, Jason baik-baik saja. Itu sudah cukup bagi gue.

Namun, sepertinya ada hal serius yang mau disampaikan oleh Jason karena ekspresinya menunjukkan demikian. Jika biasanya matanya selalu diiringi dengan isyarat jenaka, maka teruntuk hari ini, matanya menyiratkan kesedihan. Setelah menegakkan punggung dan menyandarkannya ke kepala ranjang, dia mengalihkan atensinya ke gue sebelum berlabuh ke Rowena di sisi lain.

"Ada hal serius yang mau gue kasih tahu. Kak Rona, bisa duduk di samping Bang Julius, nggak? Biar pandangan gue cukup ke satu arah. Jujur aja, gue masih belum sepenuhnya sehat. Rasanya kayak mengambang banget, gitu."

"Apa besok aja ngomongnya?" Gue mencoba menyarankan, tetapi tidak disetujui oleh Jason.

"Harus sekarang. Di hadapan lo dan Rowena. Gue harus menyampaikan pesan Jule."

"Jadi, alasan lo sama Jule bisa pingsan ... apakah karena kalian ketemu di mimpi?"

"Iya. Seharusnya Jule yang masuk ke tubuh lo, tapi berhubung gue yang menghalangi, jadinya gue yang mendapat pesan itu. Waktu Jule nggak banyak."

Mendengar kata 'nggak banyak' segera memberi gue semacam firasat yang nggak enak. Gue langsung menoleh ke satu titik hanya untuk menemukan Jule yang masih belum bergerak.

"Jule ... kenapa dia belum sadar?" Pertanyaan itu refleks gue ajukan, tetapi tanpa melihat ekspresi Jason setelahnya, gue langsung bisa menebak apa jawabannya.

Apa pun itu, gue rasa kabarnya nggak baik.

Benar saja, gue merasa seperti sedang didorong dari ketinggian lima belas lantai saat mendengar Jason menjawab, "Jule udah pergi."

"What?!" Rowena berseru, sementara gue akhirnya mengembalikan fokus ke Jason. Gue bisa melihat ekspresi yang benar-benar sedih, bahkan gue yakin nggak lama lagi Jason akan menitikkan air mata.

"P-pergi?" Payah. Bahkan untuk mengucap satu kata itu saja susahnya minta ampun.

"Transmigrasi yang dia lakukan adalah sebagai ucapan terima kasih karena lo udah nolongin dia, Bang. Seharusnya waktu tertusuk paku, dia sudah mati, tapi dia memohon sama dewa buat ngasih hidup yang lebih panjang setidaknya ... setidaknya ...."

Jason menghirup napas banyak-banyak selagi menyusun kalimat. Lebih tepatnya kalau menurut gue, dia sedang beralibi untuk mengatur napas biar bisa menahan tangisannya.

"Setidaknya sampai Nona Rowena—–begitu panggilannya—–mendapat teman pengganti."

Jeda berlangsung lama. Untuk pertama kalinya gue merasakan hampa di area dekat jantung gue. Apakah ini yang namanya efek hancur setelah kehilangan? Gue belum pernah merasakan bagaimana ditinggal oleh orang yang dicintai, tapi jika sama seperti yang gue rasakan sekarang, gue harap semua yang gue sayangi bisa berumur panjang.

Sebab, gue belum tahu bagaimana cara menyembuhkan kehampaan ini.

Jule ... lo serius udah pergi? Gue bahkan belum sempat ngomong face to face sama lo, padahal tinggal dikit lagi saat itu.

Rowena masih bertahan dengan kekalemannya, tetapi gue tahu, penyampaian Jason telah menghadiahinya semacam pukulan berat. Walau nggak berada di posisi dia, tapi gue rasa gue bisa mengerti. Bayangin aja lo nggak begitu peduli dengan seseorang yang ternyata memberikan perhatian yang melebihi ekspektasi lo.

Gue lebih dari tahu kalau Rowena bersedih. Sebenci-bencinya dia pada Jule, tetap aja bukan berarti sampai mau melenyapkannya dari dunia.

"Itulah sebabnya walau harus mengorbankan waktu lo yang berharga buat belajar, dia menggunakan kesempatan itu untuk melakukan perpindahan jiwa. Waktunya di dunia jadi lebih banyak terpotong, tapi Jule bilang kalau dia nggak peduli. Bang Julius adalah Tuan Kucing terbaik yang pernah dia temui. Walau singkat, dia bersyukur diberi kesempatan buat ketemu sama lo, Bang."

Air mata gue langsung menggenang. Gue jahat banget karena sempat menyalahkan dia. Bukannya berpikir positif, gue malah menyudutkan dia. Gue ... gue memang sepicik itu ternyata.

"Bang, jangan nangis." Lucu juga Jason menghibur gue jangan menangis, padahal dia sendiri sudah banjir dengan air mata. Gue melirik ke arah Rowena. Sesuai dugaan, dia menangis walau berusaha menutupinya dengan menunduk.

"Bang," lanjut Jason, "Gue jadi merasa bersalah karena udah nuduh Jule yang nggak-nggak, tapi dia udah bilang kalau dia nggak salahin gue. Wajar kalau gue atau orang lain menganggap kucing itu penuh mistik, misterius, atau apalah itu. Dia cuman menitipkan pesan agar jangan membenci kucing—–termasuk hewan lainnya—–karena terkadang kalau ada binatang yang rese itu sebabnya mau melindungi diri aja. Mereka merasa terancam sehingga melakukan pertahanan."

Makasih, Jule. Gue bakal selalu inget apa yang lo pesankan. Jika memang udah saatnya lo pergi, kami nggak boleh terlalu lama bersedih biar perjalanan lo bisa lebih lancar. Bukankah begitu?

"Nanti kita istirahatkan Jule di tempat terbaik bersama-sama, ya."

Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang