Ada yang aneh dalam diri gue. Super duper aneh. Awalnya gue kira sedang berhalusinasi atau mungkin efek kecapekan yang luar biasa gara-gara begadang untuk mengejar ketinggalan. Meski terlahir dari keluarga kaya hingga layak disebut anak sultan, prestasi gue nggak sebagus yang dikira. Jujur saja, risiko bersekolah di SMA Bernard cukup membahayakan masa depan gue, tetapi berhubung gue tipe siswa yang ambis, maka gue masih diberi kesempatan untuk menetap di kelas unggul.
Oke, mari hentikan pembahasan lebih lanjut tentang prestasi gue. Itu masih bisa dibicarakan di lain waktu. Yang genting sekarang adalah seperti yang tadi gue bilang di awal-awal; ada yang tidak beres.
Serius. Jantung gue seolah hampir terjun bebas. Memang ada yang nggak beres.
Gue belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tapi tatapan teman-teman sekelas—–yang tak ada bedanya dengan sensor massal—–berasa begitu menusuk. Ada apa ini? Apakah gue sedang melakukan kesalahan? Trus satu lagi. Kayaknya kepala gue habis ditempeleng dengan kekuatan yang tidak tanggung-tanggung karena berhasil membuat pening. Gue nggak yakin dan nggak bisa menjamin apakah asumsi gue benar adanya karena hingga kini, gue masih berusaha melek semelek-meleknya agar bisa berpikir lebih jernih.
Jika tamparan itu benar-benar terjadi, serangannya berasal dari sisi kiri. Apakah Rowena yang melakukannya? Gue mulai bertanya-tanya, tetapi lagi-lagi ada firasat yang nggak enak, seolah-olah gue sedang melakukan kesalahan besar dan diadili di hadapan orang banyak.
Mengapa gue jadi pusat perhatian ketika bangku yang gue duduki ini berada di area belakang?
Bisik-bisik terdengar di mana-mana, membuat kelas sontak berubah menjadi area konferensi pers, tetapi untungnya kehebohan tersebut tidak berlangsung lama karena guru pergantian pelajaran sudah sampai di ambang pintu kelas. Situasi ini lagi-lagi membuat gue bertanya; apa yang membuat gue bisa tertidur pulas dalam durasi yang tidak sampai sepuluh menit ini?
Gue menoleh ke teman sebangku gue sekali lagi. Dia masih betah sibuk sendiri seolah-olah gue dan semua siswa di kelas adalah bagian dari benda yang tak bernyawa. Soal Rowena, gue hanya tahu sepintas tentangnya dan interaksi di antara kami hanya sebatas berpapasan di koridor secara tak sengaja.
Jika harus mendeskripsikannya dalam satu kata, Rowena itu berwibawa. Ya, dia seperti mempunyai aura yang membuat siapa saja tidak berani mendekat atau minimal... membuat siapa saja merasa canggung dan berpikir dua kali sebelum berbicara. Gue yakin jika suatu saat dia tertarik menjadi guru, dia bakal sukses menjadi guru killer yang paling killer sepanjang masa.
Nggak usah jauh-jauh, tadi pagi bisa menjadi bukti konkretnya. Salah gue juga, sih, kenapa pada akhirnya memilih duduk sama dia ketimbang di sebelah Hans si tukang usil hanya gara-gara ditatap tajam saat langkah gue mencapai batas jalur menuju salah satu bangku di antara keduanya. Lantas, sesederhana itu gue memilih bangku di sebelah Rowena, tetapi konyolnya malah tiba-tiba bingung mau ngomong apa setelah sampai di bangku yang akan menemani gue selama setahun ke depan.
Lalu kini tidak hanya canggung, gue mulai dihinggapi perasaan tidak enak seperti cenayang yang mendapat penglihatan buruk. Rasanya seperti sedang dihimpit sesuatu hingga sesak, seolah-olah udara di dalam kelas mulai habis.
Gue jadi menyesal duduk di sebelah Rowena Hanasta. Asli.
*****
"Bang, gue punya pertanyaan dan lo harus jawab sejujur-jujurnya. Kalau perlu, lo boleh bersumpah demi salah satu kucing di rumah kita." Kebawelan Jason sama sekali tidak membantu begitu dia mendaratkan bokongnya di sebelah gue selaku pengemudi.
Tadinya gue sedikit terhibur karena semua siswa dipulangkan dua jam lebih awal sebab jam belajar-mengajar belum produktif sehubungan dengan tahun ajaran yang masih baru-baru banget, tetapi gue mendadak pusing saat mendapat pertanyaan kayak Jason tadi. Percaya, deh, lo bakal kapok kalau kelamaan ngomong sama dia apalagi kalau tuh anak sampai ngomong serius kayak gini.
Mana minta gue bersumpah demi kucing yang gue sayangi lagi. Kan, jadinya bikin lubang hidung gue kembang-kempis.
"Iya, nanya apa?" Gue berusaha sabar selagi menyalakan mesin mobil dan berfokus mengemudikannya pelan-pelan di antara mobil yang sedang berlomba, seakan menantang siapa yang lebih dulu keluar. Untungnya, SMA Bernard unggul tidak hanya dari segi sarana, tetapi juga prasarana sehingga kemacetan yang kerapkali terjadi di area parkiran tidak pernah lebih dari sepuluh menit.
"Rowena pacar lo, ya?"
"Kenapa nanya gitu?" Intonasi nada gue spontan naik seoktaf. Selain nggak habis pikir, gue juga takjub sama kegesitan Jason yang sudah cek dan ricek soal Rowena, padahal ini baru hari pertama dia menjadi murid SMA Bernard.
"Nggak usah berdalih, ngaku saja!" Kata-kata Jason terdengar menuduh sementara mobil gue mulai melaju stabil setelah keluar dari gerbang.
"Apa yang harus gue akui memangnya?"
"Ck. Oke, gimana cara lo jelasin soal kepala lo yang ndusel-ndusel manja ke Rowena? Nggak tau, deh, ada grepe-grepe apa nggak karena gue keburu balik ke kelas. Yang jelas, saking lengketnya lo ke dia, gue sampe kira lo kesurupan arwah kucing—–YA TUHAN, JULIUS! GUE MASIH MAU HIDUP, LOH! YA KALI SEENAKNYA BERHENTI, KITA LAGI DI JALAN TOL, LOH!"
Jason spontan berteriak sebab tanpa peringatan, gue refleks menginjak pedal rem dengan kekuatan penuh.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKAN
Fantasy[Berhasil mendapat juara kedua event menulis dari Penerbit AlR] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Fantasy, Romance Naskah full revisi ✅ Blurb: Siapa sangka seekor kucing sanggup menghubungkan dua remaja, terlebih dengan cara ya...