Waktu benar-benar bergulir dengan cepat. Jarum jam berputar tanpa kenal istirahat. Sama seperti permainan tongkat estafet, begitulah waktu berjalan. Detik, akan disambung oleh menit. Tak tinggal diam, menit juga menyambungkan diri ke jam. Seolah sebuah persaingan ketat, jam pun akhirnya digantikan oleh Minggu.
Usai Minggu bertugas, bulan di depan sana sudah mengulurkan tangan, bersiap mengemban tugas kehidupan. Hingga akhirnya, tahun turun tangan.
Permainan tongkat estafet kehidupan, selesai. Secepat itu memang kadang, kehidupan berjalan. Ia tak peduli, bahwa banyak manusia terguncang ribuan masalah kehidupan, di setiap detik, menit, bahkan jamnya.
Masih ingat dengan bocah tujuh tahun, yang ditinggal papahnya secara tiba-tiba? Iya, Aluka Senjani. Sekarang, bocah tujuh tahun itu sudah besar. Sudah sepuluh tahun. Sudah mulai paham, dengan perihnya kehidupan.
Ini sudah terhitung tiga tahun, Galendra tak pulang. Ini juga sudah tiga tahun lamanya, Aluka menunggu dengan hati yang terlunta-lunta yang sering kali meradang.
Kata Aluka, semesta itu jahat.
Kata Aluka, kehidupan itu tidak pernah berlaku adil padanya.
Selama tiga tahun ini, di setiap detik, menit, bahkan jamnya Aluka tak pernah absen untuk menanti kepulangan sang papah.
Dari terbit arunika, sampai sekarang digantikan tugas dengan swastamita, Aluka masih disini. Di depan gerbang rumahnya, menanti kepulangan sang papah.
"Kalau hari ini papah gak pulang, berarti Tuhan lagi dan lagi nggak mengabulkan doa Aluka,"
Ada gerimis di iris mata Aluka, ada sakit di hatinya yang terus saja mengiris dengan membabi buta.
"Tidak apa-apa, Tuhan. Aluka tidak apa-apa, ayo uji saja Aluka. Aluka juga pengen tahu, sampai di titik mana Aluka bisa bertahan,"
"Doa Aluka gak banyak, Tuhan. Aluka cuma pengen papah pulang, tapi kenapa Tuhan gak pernah kabulin?"
"Tuhan benci ya sama Aluka, sama kayak papah yang benci Aluka?"
Gerimis itu berubah jadi hujan lebat. Aluka langsung terisak hebat. Terduduk sendiri, di depan gerbang tak di cat.
"Aluka rindu papah, Tuhan ...."
"Bawa papah pulang ke Aluka, bawa papah kesini. Aluka gak apa-apa, enggak digendong, enggak apa-apa juga kalau enggak dipeluk sama papah, asalkan papah pulang,"
"Aluka pengen liat wajah papah lagi, walaupun papah gak pernah senyum sama Aluka, hiks ...." Isakan Aluka kian hebat, ia langsung menekuk lutut, dan memeluknya erat-erat.
Selama tiga tahun ini, Aluka hanya bisa menguatkan diri sendiri. Ia yakin, bahwa Tuhan tengah mengujinya, dan ia juga yakin, akan ada pelangi setelah hujan deras.
Pah, Aluka rindu. Boleh pulang sebentar aja, gak? Aluka pengen liat wajah papah. Aluka pengen minta, satu foto mamah, Aluka juga pengen tahu dong pah, tahu nama mamah.
Pah, Aluka sayang papah. Dimana pun papah berada, sehat selalu ya ....
Aluka selalu bilang sama Tuhan, supaya Tuhan kasih kebahagiaan ke papah terus.
Ya, walaupun Aluka tahu, hidup papah gak bahagia karena ada Aluka di dunia ini, 'kan?
Maafin Aluka, pah ....
***

KAMU SEDANG MEMBACA
TELAGA LUKA
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Lo cuma punya dua pilihan, Luka. Mati karena orang-orang di sekitar lo, atau matiin diri lo sendiri."