PART 10

126 15 0
                                    

"Kamu tuh darimana aja sih?! Udah tau mau pindahan, malah kabur-kaburan!"

Baru saja sampai di rumahnya, Aluka langsung dibentak habis-habisan oleh Galendra.

"Kamu niat gak sih, ikut ke Jakarta dan tinggal sama saya?!"

"Niat Pah, maaf karena Aluka gak izin dulu tadi. Aluka habis nemuin temen Aluka, pamitan sama dia," terang Aluka jujur.

"Pamitan sama temen bisa, kenapa sama saya gak bisa, hah?! Harusnya tuh kamu izin dulu sama saya, anak bodoh!" Galendra kian murka saja rasanya. "Kamu itu lelet tau gak?! Buang-buang waktu!" Ia menoyor kepala Aluka keras. "Untung aja, gak saya tinggal! Dasar anak bawa sial! Bisanya cuma bikin saya marah dan naik darah. Cih." Galendra membuang ludahnya ke hadapan kaki Aluka, dan langsung pergi ke arah mobil, mengecek barang bawaan.

"Bawa koper kamu, dan masukkin ke bagasi mobil. Cepet!" suruh Ralin.

Aluka langsung mengangguk, dan berlalu masuk ke dalam mengambil kopernya.

Telaga baru saja sampai di depan rumah Aluka, mobil hitam yang terparkir disana, serta beberapa orang yang juga turut serta, menegaskan benar bahwa sebentar lagi Aluka akan pergi.

Telaga memberanikan diri masuk ke dalam, karena memang gerbang terbuka, dan kebetulan pak satpam tengah tak ada entah kemana.

Telaga menyeret langkahnya berat, matanya yang sedikit sembab menegaskan bahwa dia habis menangis. Hingga tak lama, iris mata Telaga disuguhi sosok Aluka yang tengah menarik kopernya mendekat ke bagasi mobil.

Terdiam di tempat, Telaga menyaksikan sosok Aluka tengah mengangkat kopernya dan memasukkannya ke dalam bagasi. Hingga saat pintu bagasi mobil tertutup, saat itu juga sosok Aluka terkejut, mendapati Telaga.

Aluka dan Telaga saling memandang, dengan jarak cukup jauh. Mulut keduanya masih setia terkatup, membiarkan tatapan sendu keduanya yang berbicara, dan mengatakan pada dunia, bahwa mereka tak ingin berpisah.

Telaga tiba-tiba mengulas senyum. Senyuman manis, untuk bingkisan perpisahannya. Aluka tak kuasa menahan air matanya, dia membiarkan bulir bening itu jatuh, karena memang ia tak bisa mencegahnya.

Tak kuasa terus diam ditempat, akhirnya Aluka berlari menghampiri sosok Telaga.

"Telaga!" teriak Aluka, diiringi isakan yang memilukan.

Dengan kedua pundak bergetar, menahan isakan. Telaga tiba-tiba merentangkan tangannya, menyambut Aluka untuk datang ke pelukannya.

Berlari kencang, sambil terisak hebat. Aluka langsung menerjang tubuh Telaga, dan memeluknya erat. Menumpahkan segala sakitnya di pundak Telaga yang terasa runtuh.

Telaga balas memeluknya tak kalah erat, ikut menangis, menumpahkan segala sakitnya juga disana.

Untuk semua rasa sakit yang menjangkit keduanya, Aluka dan Telaga urai bersama.

"Jangan pergi, Ka ...."

"Hiks, aku harus pergi Telaga."

Sekuat apapun Telaga menggenggam, berusaha menahan kepergian. Aluka akan tetap bersua, mengatakan kalimat perpisahan, menyadarkan Telaga bahwa benar ini sudah ada di ujung perpisahan.

"Siapa yang bakal main sama aku lagi, Ka? Siapa yang bakal main ayunan sama aku? Siapa yang bakal aku gendong lagi, nanti?" isak Telaga.

"Kita pasti akan ketemu lagi, Telaga." Aluka sesenggukan.

"Kapan, Ka? Kasih aku jawaban, kasih aku kepastian, Ka."

Aluka langsung melerai pelukannya sepihak, secara perlahan dan Telaga pun tak menahan. Kedua anak manusia berusia sepuluh tahun, itu bertatapan, saling memamerkan tangisan.

"Aku gak bisa kasih jawaban sekarang. Tapi kamu yakin aja Telaga, kalau Tuhan pasti akan mempertemukan kita lagi." Aluka menyeka air mata di pipi Telaga. "Jangan nangis Telaga, kamu kan jagoannya Aluka. Aku yakin, kamu akan dapat teman lebih banyak buat nemenin kamu main." Ia tersenyum lebar, walaupun air mata yang terus saja jatuh menegaskan bahwa ia sedih. Senyuman itu, hanya senyuman palsu. Formalitas.

"Kita akan ketemu lagi, 'kan, Ka?"

Aluka mengangguk mantap. Ia yakin, Tuhan pasti akan mempertemukan dirinya dan Telaga lagi. Entah kapan, tapi Aluka yakin dengan rencana Tuhan.

"Biarin aku pergi ya, Telaga?" Jemari kurus Aluka di pipi Telaga turun, beralih menggenggam jemari Telaga dengan erat.

"Aku bakal tunggu kamu, Ka. Jaga diri baik-baik di Jakarta, dan aku mohon, jangan pernah lupain aku." Akhirnya, memang rasa ikhlas adalah jalan terbaik untuk merelakan kepergian.

"Aku pamit Telaga, maaf dan terima kasih untuk selama ini." Genggaman tangan itu dilerai Aluka sepihak. Padahal, dalam hati Telaga ingin menggenggamnya terus. "Aku beruntung kenal kamu, salam untuk Bapak dan Ibu kamu, bilang sama mereka, kalau aku sayang mereka," pesannya, diangguki oleh Telaga.

"Aku punya kenang-kenangan buat kamu, Ka." Telaga merogoh kantong celananya, mengambil sebuah kawat, yang sudah dibentuk lingkaran menyerupai gelang. "Aku gak punya uang, buat beli gelang pertemanan. Makanya aku bikin gelang ini di jalan tadi, pas banget aku nemu kawat, makanya aku langsung bikin gelang ini." Ia dengan telaten, memakaikannya ke pergelangan tangan Aluka.

Tak lupa, Telaga juga memakai gelang yang sama seperti Aluka.

"Ini gelang pertemanan, kalau Telaga akan terus ada bersama Aluka, dimana pun Aluka berada."

Aluka tersenyum sambil menatap gelang sederhana dari kawat itu.

"ALUKA! AYO MASUK MOBIL!" Teriakan Ralin, membuat Aluka langsung kembali pamit pada Telaga.

Telaga menggenggam jemari Aluka sebentar, hingga akhirnya terlepas juga karena Aluka harus segera masuk ke dalam mobil. Telaga menyingkir, saat mobil hitam yang membawa Aluka di dalam sana, mulai melaju.

Aluka yang memang kebetulan duduk di kursi mobil paling belakang, tak henti-hentinya membalikkan badan, menatap sosok Telaga yang berjalan mengikuti laju mobil.

"ALUKA! KALAU UDAH BESAR, MAU YA JADI PACARNYA TELAGA?" teriak Telaga, sambil berlari karena mobil mulai melaju kencang.

Dari balik kaca jendela, Aluka mengangguk.

"Kalau udah besar, Telaga mau ke Jakarta, mau susul Aluka!" teriaknya lagi. Dada Telaga mulai bergemuruh hebat, naik turun dengan cepat, karena terus mengikuti laju mobil.

"Telaga sayang Aluka!"

Aluka juga sayang Telaga.

"Tetap tersenyum, dan terus bahagia cantiknya Telaga!"

Tetap tersenyum, dan terus bahagia juga jagoannya, Aluka!

"SELAMAT TINGGAL, TUAN PUTRI!"

Teriakan Telaga itu jadi akhir, karena detik selanjutnya mobil melaju kencang meninggalkan jalur lintasan tempat Telaga berdiri.

Pergi sudah, Alukanya Telaga.

"JAKARTA! BUAT ALUKANYA TELAGA BAHAGIA! JANGAN BUAT DIA NANGIS! KALAU SUDAH BESAR, TELAGA AKAN KE JAKARTA!"

Bogor, jaga baik-baik Telaga. Aluka, sayang Telaga ....

TELAGA LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang