PART 3

230 23 2
                                    

Duduk di atas batu besar, di tengah-tengah hamparan kebun teh, disitulah Aluka berada sekarang. Dari banyaknya tempat yang ada, dia putuskan kesini. Entah kenapa, tempat ini jadi tempat healing terbaik.

Menyimpan dagu di antara lutut, Aluka menatap kosong para pemetik daun teh di depannya. Matanya yang sembab, menegaskan bahwa ia habis menangis.

Bruk!

Aluka langsung terperanjat saat mendengar suara orang jatuh, ia langsung menoleh ke sumber suara, dilihatnya ... benar ada orang jatuh.

Aluka langsung turun dengan pelan dari atas batu besar, dan dengan sigap menolong orang jatuh tersebut.

Orang yang jatuh tersebut, ternyata seorang anak laki-laki yang sepertinya seusia dengan Aluka. Ia membawa satu karung rumput, yang untungnya tidak berceceran saat dirinya tadi jatuh.

"Makasih ya," ucap anak laki-laki itu.

Aluka mengangguk. "Ada yang sakit, enggak?" tanyanya, sambil meneliti keadaan lawan bicaranya itu.

"Enggak ada, aku kan jagoan." Anak laki-laki itu tersenyum lebar.

"Oh, yaudah. Aku duduk lagi. Lain kali, hati-hati ya, jalan disini kan berbatu." Setelah mengatakan itu, Aluka kembali naik ke atas batu besar dan kembali duduk.

Anak laki-laki itu tidak pergi, ia lebih memilih menyimpan karung berisi rumputnya di dekat batu besar yang lain, sementara dirinya langsung ikut naik ke batu besar dan duduk bersama Aluka disana.

"Sekali lagi, makasih ya," celetuk anak laki-laki itu, membuat Aluka menoleh.

"Sama-sama."

"Kenalin, nama aku Telaga." Anak laki-laki bernama Telaga itu, mengulurkan tangannya pada Aluka.

Butuh beberapa menit untuk Aluka menyambut uluran tangan Telaga, hingga akhirnya ia menyambutnya juga.

"Aku Aluka."

"Namanya bagus," kata Telaga, tanpa melerai jabatan tangannya.

"Nama kamu juga bagus."

"Kamu lagi ngapain disini?" tanya Telaga.

"Lagi pengen sendiri aja." Aluka menjawab, sambil melerai jabatan tangannya, dan beralih memeluk kedua lututnya.

Telaga ikut-ikutan memeluk lututnya juga, membuat Aluka mesem. Aluka tak menyangka, akan bertemu orang baru, yang suka meniru.

"Rumah kamu dimana, Aluka?"

"Di perumahan depan sana," tunjuk Aluka ke arah depan. "Kalau kamu?" Ia balik bertanya.

"Di kampung belakang kebun teh ini."

"Kamu kenapa bawa rumput banyak banget, Telaga?"

"Buat kambing aku di rumah. Bapak aku peternak kambing, sementara ibu aku petani daun teh disini."

Aluka menatap Telaga dengan minat dan semangat. "Rasanya punya bapak dan ibu kayak gimana?"

Telaga mengernyit. "Lho, kok nanya rasanya? Emangnya kamu gak punya bapak dan ibu?"

Aluka langsung diam. Ia harus jawab apa?

"Mmm ... kita bahas yang lain aja." Aluka langsung mengalihkan topik. "Nama kamu Telaga apa?"

"Telaga Narendra."

Aluka mangut-mangut, nama yang bagus menurutnya. Hingga detik selanjutnya, perhatian Aluka terpanah pada luka gores di lutut Telaga.

"Lutut kamu luka, Telaga." Aluka langsung dengan sigap, menarik tas ranselnya. Mengambil kotak P3K kecil, yang memang selalu dia bawa kemanapun.

"Eh, gak usah Aluka." Sempat Telaga menolak, namun Aluka lebih dulu mengobatinya dengan telaten. "Makasih ya Aluka. Hm, gimana kalau aku panggil kamu Luka aja?"

TELAGA LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang