"Akh, aw sakit, Telaga."
Aluka tak henti-hentinya mengerang sakit saat Telaga meneteskan obat merah ke luka di kakinya yang terkena pecahan guci siang tadi.
Ini sudah malam, hujan juga sudah reda. Karena kebetulan Galendra, Ralin, serta dua anaknya pergi untuk makan malam di luar, jadinya Telaga bisa masuk ke kamar Aluka sekarang ini.
"Lukanya banyak banget, Ka." Telaga meniupi kaki jenjang Aluka yang banyak luka. "Aku tahu, ini pasti sakit. Tapi aku harus kuat ya, Ka. Kan, udah aku obati, pasti nanti sembuh."
"Iya Telaga, makasih ya udah mau obati luka aku. Oh iya, kamu kapan pulang? Ini udah lewat adzan isya lho, Telaga."
"Nanti aja, mau nemenin kamu dulu, Ka." Telaga bangkit dari posisi jongkoknya di hadapan tubuh Aluka, dan beralih duduk di atas kasur samping Aluka.
"Dari basah, sekarang baju kamu hampir kering Telaga." Aluka memegangi lengan baju Telaga, mengecek. "Kamu baik banget Telaga, mau panas-panasan, terus mau juga ujan-ujanan," imbuhnya, merasa tak enak.
"Ini semua demi kamu, Ka," timpal Telaga cepat, sambil menoleh dan menatap Aluka dalam-dalam. "Aku udah janji sama kamu, sama Tuhan, sama diri aku sendiri, buat selalu ada buat kamu. Mau kamu di posisi terburuk kayak gimana pun, aku akan terus ada buat kamu, Ka."
Mendengar itu, Aluka tak bisa menahan diri. Matanya yang memanas, serta hidungnya yang mulai memerah, menegaskan bahwa dia ingin menangis. Namun, untuk meredam semua itu, Aluka malah memeluk Telaga.
Kedua tangannya melingkar di leher Telaga dengan erat. Sementara Telaga? Jangan tanyakan anak laki-laki itu, karena dia hanya bisa terpekur, dengan mulut yang sedikit ternganga.
Seumur-umur, Telaga baru merasakan dipeluk perempuan seusianya.
Aduh, dosa gak ya? Baru sepuluh taun, udah pelukan? Malah dikamar lagi.
"Makasih banyak Telaga," lirih Aluka.
"Jangan terlalu banyak ucapin terima kasih, Ka. Sekali-kali kek, ucapin aku cinta kamu Telaga, hehe."
"Telaga!!!" Aluka langsung melerai pelukannya, dan memukul dada laki-laki di depannya.
"Bercanda Ka, jangan merah gitu pipinya," goda Telaga cengar-cengir.
"Apaan sih!" Aluka mencebik, dia yang tadinya ingin menangis di pelukan Telaga, jadi tak jadi karena candaan Telaga sendiri.
"Ka?"
"Apa? Mau bercandain aku lagi?" sewot Aluka.
"Jangan pernah pergi ya?" pinta Telaga tiba-tiba.
"Maksudnya?" heran Aluka.
"Ya, maksudnya jangan pernah pergi. Tetap di Bogor, tetap disini. Tetap jadi teman aku, biar kita bisa petik daun teh, mandiin kambing aku, sama main di sungai."
"Iya Telaga, aku emang gak akan pergi, kok. Tenang aja." Aluka tersenyum lebar, ucapannya begitu menjanjikan.
"Kamu cantik kalau lagi senyum, Ka." Telaga menggombal, namun raut wajahnya serta nada bicaranya terdengar serius. Bukan gombalan candaan. "Tetap tersenyum ya Ka, jangan nangis kayak pas tadi siang," pintanya.
"Emang kalau aku nangis, kenapa?"
"Gak kenapa-napa, tapi aku merasa dada aku sakit aja pas liat kamu nangis." Telaga menepuk-nepuk pundak Aluka. "Saat kamu nangis, aku merasa gagal jadi temen kamu."
"Namanya juga hidup, Telaga." Aluka melayangkan tatapan matanya lurus ke depan. "Pasti, harus diisi dengan senyum dan tangisan. Rasanya akan aneh, kalau enggak ada dua hal itu. Senyum, nangis, bahagia, menderita, itu pelengkap hidup. Semua itu akan selalu ada, dan semua itu akan terjadi secara bergantian." Ia menoleh, menatap Telaga lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TELAGA LUKA
Dla nastolatków[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Lo cuma punya dua pilihan, Luka. Mati karena orang-orang di sekitar lo, atau matiin diri lo sendiri."