"Siapa yang nyuruh kamu duduk disitu?"
Baru saja duduk di kursi, hendak ikut makan malam di meja makan keluarga, Aluka harus kembali berdiri karena pertanyaan dingin, yang persis mengusir dari sang papah.
"Aluka mau ikut makan malam sama Papah," ujar Aluka sambil menatap Galendra.
"Tapi saya gak sudi makan bersama, sama kamu!" tolak Galendra mentah-mentah.
Kana di sebrang Aluka, hanya bisa tersenyum miring. Sementara Ralin, yang tengah menghidangkan makanan ke dalam piring sang suami, hanya bisa melirik Aluka sinis. Lain dengan Kenzo, yang tak mempertunjukkan eskpresi apapun. Datar.
"Makan di dapur sana, tunggu makanan sisa!" usir Galendra, sambil menunjuk ke arah dapur dengan dagunya angkuh.
Aluka sedikit ternganga, mendengar ucapan sang papah, mengenai makanan sisa. Jadi, dia harus makan, makanan sisa malam ini?
"Sana, Aluka!" bentak Galendra mulai marah.
"Sana, hush, hush, hush!" Kana bergestur mengusir, sambil sedikit teriak.
"Tapi Pah, Aluka pengen liat Papah, Aluka kangen Papah." Sambil meremas sesama jemarinya, Aluka memohon. Matanya mulai memanas, namun mati-matian, ia usahakan untuk tidak menangis.
Aluka tak mau jadi anak cengeng, karena Aluka tahu bahwa papahnya tak suka anak cengeng.
"Pergi."
"Aluka gapapa makan, makanan sisa di dapur. Tapi, izinin Aluka liat Papah disini," mohon Aluka lagi.
"Udah lah Mas, biarin aja dia ngeliatin kamu disini. Yang penting, dia gak ikut makan sama kita," kata Ralin, yang kini sudah duduk di kursi samping Kana.
"Yaudah," putus Galendra, dengan suaranya yang masih dingin. "Kamu boleh disini, cuma buat ngeliatin saya. Tapi, jangan pernah sentuh makanan, dan jangan duduk. Kamu harus berdiri!"
Aluka mengangguk. Tidak apa baginya, jika harus berdiri berjam-jam pun, asalkan dia dapat menatap wajah sang papah. Demi apapun, Aluka sangat merindukan sosok papahnya.
Sekarang, biarkan Aluka menatap papahnya dengan puas. Karena sebelumnya, 3 tahun belakangan itu dia menahan rindu, sampai hampir tewas.
Sesi makan malam berlangsung begitu hikmat, tak ada satupun orang yang peduli bahwa Aluka menyaksikan semua itu dengan luka yang mulai membebat.
Disaat semua orang di meja makan, menyuap nasi, Aluka hanya bisa diam sambil memandangnya dengan wajah pucat pasi.
Disaat suara kunyahan, dan benturan sendok piring beradu, Aluka tetap diam dengan senyuman sendu. Tidak peduli, dengan cacing-cacing di perutnya yang mulai mengadu.
"Pah, suapin Kana dong," pinta Kana dengan manja.
"Utututu, anak papah mau disuapin." Dengan senang hati, Galendra menyendokkan makanannya, dan menyuapi Kana. "Makan yang banyak ya anak, papah. Biar cepet besar."
Aluka meneguk ludahnya kasar, hatinya terasa berbenturan dengan benda bermuatan berat di dalam.
Bertahun-tahun, Aluka ingin sekali disuapi papahnya, tapi tak pernah sekalipun keinginannya terwujud.
"Pah?" panggil Aluka.
"Apa?!" sahut Galendra tanpa menoleh, dia sibuk menyuapi Kana.
"Nanti pas Aluka makan di dapur, boleh gak Aluka minta disuapin?"
"Males. Kamu punya tangan yang utuh, masih sehat juga kenapa harus minta suapin saya?" ketus Galendra, tak peduli.
"Tapi, Kana juga punya tangan yang utuh, dia juga sehat, Papah mau suapin dia. Kenapa Aluka, nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TELAGA LUKA
Novela Juvenil[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Lo cuma punya dua pilihan, Luka. Mati karena orang-orang di sekitar lo, atau matiin diri lo sendiri."