Pagi-pagi buta sekali, Aluka sudah bangun bahkan sudah membereskan seluruh pekerjaan rumahnya. Tanpa pamit, dan izin, Aluka nekat pergi pagi-pagi sekali untuk menemui Telaga sebelum dirinya pergi dari Bogor.
Jalanan setapak, beralaskan bongkahan batu yang sudah terbenam tanah, menjadi jalur lintasan kedua kaki Aluka, sambil menyusuri hamparan daun teh, Aluka merasa dirinya dejavu.
Bayang-bayang, kebersamaannya bersama Telaga terpintas. Dada Aluka sesak sekali, saat kenyataan menyadarkan dirinya bahwa, hari ini juga dia harus pergi meninggalkan Bogor, dan segala kenangannya.
Menahan bulir bening di kelopak mata, Aluka mempercepat langkahnya, ingin cepat sampai di rumah Telaga.
"Assalamualaikum," salam Aluka tepat di hadapan pintu rumah Telaga.
"Waalaikumsalam." Suara Ibu di dalam terdengar, Aluka langsung tersenyum kala mendapati pintu terbuka, memunculkan sosok Ibu disana.
Aluka bersalaman dengan sopan, disambut usapan lembut dari telapak tangan Ibu yang berhasil mendarat di pucuk rambut Aluka.
"Neng Geulis, tumben banget pagi-pagi kesini?"
"Iya Bu, Aluka mau ketemu Telaga. Telaganya ada?"
"Telaga masih tidur atuh, Neng Geulis. Ibu bangunin dulu ya?"
"Eh, gak usah Bu." Aluka menahan pergerakan Ibu, saat dirinya hendak masuk. "Gak usah dibangunin Bu, Aluka gak enak. Lebih baik, Aluka titip pesan aja. Nanti kalau Telaga udah bangun, bilang ke dia kalau Aluka tunggu dia di batu besar."
"Yaudah atuh," angguk Ibu setuju. "Neng Aluka kenapa, habis nangis ya?" terkanya, saat sadar kelopak mata Aluka basah.
"Aluka gak apa-apa, Bu. Aluka mau ngucapin terima kasih banyak ke Ibu, Bapak, dan Telaga karena udah mau nerima Aluka. Udah kasih Aluka makan, makasih banyak ya Bu." Suara Aluka bergetar, bulir bening di matanya kembali membendung banyak.
"Neng Geulis kamu kenapa? Cerita sama ibu," desak Ibu mulai khawatir.
Aluka menggeleng, ia kembali menyelami punggung tangan Ibu. "Aluka pamit, assalamualaikum." Ia langsung berlari, menuruni tangga rumah panggung Telaga, dan menyingkir dari sana.
Ibu terpekur bingung, beliau jelas tahu bahwa Aluka tengah tidak baik-baik saja. Buru-buru saja, beliau langsung masuk ke rumah, guna membangunkan Telaga agar segera menemui Aluka di batu besar.
***
Telaga berlarian di tengah hamparan kebun teh, napasnya terengah hebat, namun tak sekalipun dia berniat untuk berhenti sejenak hanya untuk sekedar istirahat.
Aluka.
Nama, wajah, tawa, bahkan tangisan perempuan itu yang sukses menguasai isi kepala Telaga. Setelah mendapati kabar dari Ibu, Telaga tak tinggal diam, dia langsung pergi menemui Aluka.
Sampai di batu besar, tempat langganan keduanya bertemu, mata Telaga mendapati sosok Aluka tengah terduduk.
"Aluka!" panggil Telaga.
Sang pemilik nama tak menoleh, dia sibuk merunduk, sambil meremas sesama jemari. Telaga perlahan naik, lalu duduk di samping Aluka, membisukan mulut sementara guna mengatur napas yang belum beraturan.
"Ka?" Telaga merangkul Aluka mesra, memaksakan anak perempuan itu angkat wajah.
Dan betapa terkejutnya Telaga, saat Aluka mengangkat wajah, wajahnya sudah basah kuyup dengan air mata.
"Hiks, Telaga!" Aluka langsung menangis hebat, membuat Telaga bingung dan berimbas diam tak berkutat.
"Telaga maaf hiks ... maaf."
Lipatan demi lipatan tercipta di kening mulus Telaga, rangkulan kuat di pundak Aluka mulai mengendur, seiring dengan mulut Aluka yang terus mengucapkan kata maaf padanya.
"Ka, kamu kenapa?"
"Telaga, hiks ... aku harus pergi."
Deg! Telaga seperti dihantam benda bermuatan berat, dia sukses terpukul mundur lalu terperosok dengan ucapan Aluka barusan.
"Aku akan tinggal di Jakarta, Telaga. Aku akan pergi, ninggalin kota ini. Ninggalin kamu." Aluka merunduk lagi, dadanya kian sesak rasanya.
Telaga menggelengkan kepala, tak percaya. "Kamu bercanda, Ka?" Seringai kecil, terbit di bibir Telaga. Ia bahkan, tak malu untuk tertawa kecil. "Gak lucu, Ka. Bercandanya jangan soal pergi-pergi kayak gini, aku terlalu lemah dengernya. Jangankan buat denger, ngejalani hari-hari tanpa kamu aja, kayaknya aku bakal lemah banget."
"Tapi ini nyata, Telaga," tegas Aluka sambil mengangkat wajahnya. Dia menatap Telaga dalam-dalam. "Aku harus pergi, hari ini. Aku bakal ninggalin Bogor, aku akan pergi, Telaga."
"Kamu mau ninggalin aku, Ka?" Telaga menggeleng tak habis pikir. "Kamu udah janji sama aku kan, buat enggak akan ninggalin aku dan Bogor? Kamu juga udah setuju, kalau nanti besar mau jadi pacarnya aku, tapi kenapa sekarang kamu malah pergi, Ka?!" Murka, benar-benar mendominasi mimik wajah Telaga. "Kenapa harus pergi, Ka?"
"Aku mau tinggal sama papah selamanya, Telaga. Dan cara satu-satunya, adalah ikut dia ke Jakarta dan menetap disana," isak Aluka.
Mata Telaga memanas, bahkan hidungnya sudah memerah tomat. Menahan tangis.
"Aku juga gak mau ninggalin kota ini, Telaga. Tapi aku juga gak mau ditinggal papah lagi. Maaf Telaga, maaf ...."
"Pergi aja, Ka." Telaga tersenyum hambar, ucapannya tadi menjurus ke arah mengusir. "Harusnya dari awal, kita gak usah ketemu kalau ujung-ujungnya bakal pisah kayak gini." Telaga turun dari atas batu besar, dan memilih berdiri di hadapan hamparan kebun teh. "PERGI, KA!" teriak Telaga, tanpa mau berbalik badan. "KALAU AKU TAU, HARI INI ADALAH HARI PERPISAHAN KITA, AKU BAKAL MINTA KE TUHAN UNTUK MINTA WAKTU KEMARIN, SELAMANYA!"
"GAK USAH ADA HARI INI, AKU PENGEN HARI KEMARIN, TERUS! HARI DIMANA AKU BISA SAMA KAMU, KA!"
Dada Aluka bergemuruh, ia tak menyangka bahwa Telaga akan seperti ini.
"PERGI ALUKA! PERGI DAN JANGAN KEMBALI!"
Aluka menutup mulutnya, menahan isakan tangis yang hendak meledak. Turun terburu-buru dari atas batu besar, Aluka langsung berlari pergi.
Telaga menangis, ia merunduk pilu. "Kenapa kamu harus pergi, Ka? Kenapa kamu ninggalin aku?" Ia memegangi dadanya yang sesak, lalu meremasnya kuat-kuat. "Ka, aku gak mau kamu pergi, jangan tinggalin aku Ka. Aluka harus terus bersama Telaga ...."
Menangis hebat karena sesak di hati kian membelenggu kuat, Telaga menendang udara kosong melepas amarah. "ALUKA! JANGAN PERGI, KA!" teriaknya teramat keras, bahkan urat-urat lehernya terekspos jelas.
Masih di tempat yang sama, kebun teh. Aluka berlarian sambil terus menangis. Sama halnya Telaga yang terluka, Aluka pun sama. Sejatinya, tak ada manusia yang menginginkan perpisahan. Telaga dan Aluka pun, sama seperti itu.
Namun, keputusan Aluka sudah bulat. Dia akan pergi, ikut bersama Galendra ke Jakarta. Lagipula, hidup itu harus seperti kupu-kupu, sekalipun dia harus meninggalkan rumahnya, ya memang itulah hidup. Tumbuh, berkembang, proses, perjalanan. Itulah hidup.
"Maafin aku, Telaga ... maaf karena aku gak bisa tepati janji aku, untuk terus ada di Bogor dan untuk terus bersama, sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
TELAGA LUKA
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Lo cuma punya dua pilihan, Luka. Mati karena orang-orang di sekitar lo, atau matiin diri lo sendiri."