"Mas, kok pakai kemeja hitam?" tanyaku saat menuruni tangga.
Mas Bram yang sedang berada di ruang televisi langsung menoleh ke arahku. "Dari rumah sakit enggak ada aturan karena memang saat pakai baju resmi dokter, enggak begitu kelihatan."
"Bukan gitu," aku menunjuk ke arah bajuku yang berwarna biru tua, "warna baju kita beda," ucapku memberitahu. Padahal, sebenarnya tanpa aku beritahu dia sudah tahu.
"Lalu kenapa?"
"Mas pakai baju biru tua juga dong. Biar kita couple-an," ucapku sambil berjalan mendekatinya.
"Couple-an? Emangnya kita mau ke mana?"
"Kerja, tapi," aku menjatuhkan diriku di sebelahnya, "aku mau couple-an."
"Kapan-kapan aja. Kalau kita lagi kencan."
Sebelah alisku menukik tajam. "Emangnya kalau sekarang kenapa?" tanyaku sambil memberikan tatapan tajam.
"Sudah enggak cukup waktunya, Sayang," dia bangun dari duduknya lantas menggenggam tanganku, "ayo kita berangkat."
Aku berdecak sebal lantas bergegas untuk masuk ke dalam mobilnya. Di sepanjang perjalanan, alunan musik tidak henti-hentinya berputar, meskipun suara aku fals dan aku juga tidak terlalu hafal lirik lagu, tetapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk terus bernyanyi.
"Lavender blue, dilly-dilly. Lavender green. Then you'll be king, dilly-dilly," aku melirik ke arah Mas Bram, "And I'll be your queen," nyanyiku mengakhiri lagu tersebut.
Mas Bram melirik ke arahku lantas dia menyunggingkan senyum. "My spoiled queen," ucapnya tiba-tiba.
Aku mendadak tertawa mendengar penuturannya. "Tapi tetap kesayangan."
"Sayangnya, iya."
Aku kembali tertawa lalu memeluknya dari samping. "Dingin banget, Mas. Hujan."
Dia mematikan AC di dalam mobilnya lantas sebelah tangannya melingkar di pinggangku. "Kalau kamu mau berkeringat waktunya udah enggak cukup."
Maksudnya apaan sih?
Masa lagi hujan-hujanan begini aku disuruh lari-lari biar berkeringat, ya enggak mungkinlah. Aku juga enggak seaneh itu, meskipun punya banyak waktu.
Karena tidak paham dengan ucapannya, aku memilih untuk diam sampai tiba di tujuan. Untung saja saat di sana, sudah tidak hujan sehingga aku tidak memerlukan payung.
"Mau mampir dulu nggak?"
Mas Bram menggeleng. "Waktunya mepet banget. Saya takut macet juga di jalan."
"Yaudah," aku mengambil tangan Mas Bram lalu mengecupnya, "kalau ada perempuan yang centil diamin aja ya Mas? Kalau masih centil juga, kasih tahu aku. Biar aku labrak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Manja Kesayangan Mas Bram
Romance"Mas, aku kalau tidur harus pegangan tangan." "Kalau aku sedih aku suka minta pelukan." "Aku kalau ngambek harus dibujuk-bujuk." "Aku enggak bisa melakukan apa-apa sendiri. Aku enggak mandiri. Apa-apa harus ditemani." "Aku juga cemburuan, Mas." Bram...