Chapter 2

1.3K 123 0
                                    

"Maaf Kudo-San," gumam dokter dengan raut wajah muram.

Saat itu Yusaku dan Shinichi sedang berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil biopsi Yukiko yang dilakukan beberapa hari lalu.

"Istri Anda terkena kanker serviks stadium 4," dokter memberitahu.

"Nani?!" Yusaku dan Shinichi tersentak.

"Tapi bagaimana bisa? Gaya hidup Okasan sangat sehat," kata Shinichi.

"Kanker ini disebabkan oleh virus HPV dan itu bisa didapat dari mana saja,"

"Lalu apakah Yukiko bisa sembuh dengan kemoterapi dan lain-lainnya?" tanya Yusaku.

Dokter menggeleng pelan, "stadium 4 seusianya, meski menjalani pengobatan ataupun kemoterapi, kemungkinan hidupnya hanya sekitar 1-2 tahun lagi. Tiga tahun bila beruntung,"

Yusaku dan Shinichi menunduk sedih.

"Di masa-masa seperti ini, sebaiknya buatlah dia bahagia," pinta dokter.

Yusaku dan Shinichi akhirnya pulang dengan sedih. Ketika mereka sampai di rumah, mereka melihat Yukiko dan Shiho sedang bercengkrama di ruang tamu. Entah apa yang sedang diperbincangkan oleh dua wanita itu. Namun wajah Yukiko tampak bahagia. Yusaku dan Shinichi rasanya tidak tega untuk menyampaikan berita buruk ini. Tapi mereka tahu, tak mungkin menyembunyikannya dari Yukiko. Wanita itu sangat cerdas, dia pasti menyadari sesuatu. Akhirnya dengan berat hati, Yusaku menyampaikan perihal penyakit yang diderita istrinya.

Yukiko tertegun setelah suaminya mengungkapkan diagnosis dokter.

"Yukiko?" Yusaku bingung dengan sikap diam istrinya.

Yukiko menghela napas pelan, "aku sudah menduganya, yang aku derita bukan sakit biasa. Aku ikhlas bila memang sisa hidupku tinggal satu atau dua tahun lagi,"

"Jangan menyerah okasan!" pinta Shinichi, "pengobatan sekarang sudah canggih. Kau masih bisa sembuh,"

Yukiko menggeleng, "realistis saja, siapa yang sanggup bertahan hidup dari kanker serviks stadium 4? Ujung-ujungnya hanya kematian,"

"Yukiko-San..." Shiho juga tampak prihatin.

"Tak perlu menghiburku, aku bisa menerimanya dengan tabah," gumam Yukiko.

Hening sejenak.

"Hanya satu hal saja yang kuinginkan selama aku masih hidup," ucap Yukiko ketika akhirnya memecahkan keheningan.

"Kau ingin apa Yukiko? Kami akan berusaha memenuhinya," kata Yusaku.

Yukiko menatap Shinichi, "aku hanya ingin melihat Shin-Chan menikah,"

"Eh? Menikah?" Shinichi mengerjap.

"Uhm," Yukiko mengangguk.

"Tapi Ran masih dua tahun lagi baru pulang," kata Shinichi.

"Okasan takkan bisa menunggu selama itu," sahut Yukiko.

"Okasan..." Shinichi bingung harus bagaimana, tak mungkin menelpon Ran dan memintanya pulang. Ran mati-matian dalam usahanya mendapatkan beasiswa itu. Shinichi juga tak sampai hati menyuruhnya pulang dan memaksanya menggugurkan sisa waktu pendidikannya.

"Okasan ingin kau menikah secepat mungkin," pinta Yukiko sungguh-sungguh.

"Aku akan coba menghubungi Ran kalau begitu..." ujar Shinichi meski agak ragu dan enggan.

"Bukan dengan Ran," sambung Yukiko, "tapi dengan Shiho,"

"Nani?" Shinichi tersentak

Shiho juga terkesiap, "Yukiko-San?"

"Tapi Okasan, aku dan Shiho hanya berteman, partner," Shinichi memberi alasan.

"Memang kalau berteman dan partner tidak boleh menikah?" tantang Yukiko.

"Anooo..." Shinichi salah tingkah.

"Yukiko-San. Yang dicintai Kudo-Kun adalah Ran-San, bukan aku," ujar Shiho.

"Cinta bisa tumbuh nanti. Lagipula sebagai ibu, aku tahu yang terbaik untuk putraku. Aku sadar Shiho-Chan lebih pantas untuk Shin-Chan," kata Yukiko seraya menggenggam tangan Shiho.

"Demo Okasan..." Shinichi benar-benar bingung, tak tahu harus bagaimana. Ia tak ingin mengecewakan ibunya, tapi ia juga tak mau mengecewakan Ran. Terlebih lagi menikahi Shiho? Hal yang tak pernah terlintas di benaknya sedikitpun. Ia bahkan tak sanggup membayangkannya. Bukannya Shiho tidak cantik, bukan itu. Namun Shinichi tak bisa melihatnya dalam sisi romantisme.

"Semua keputusan di tanganmu Shin-Chan," ujar Yukiko seraya memejamkan mata dan menghela napas lelah, "kalau kau ingin membahagiakan ibumu ini di saat terakhir, menikahlah dengan Shiho," ia mengakhiri tanpa ingin dibantah lagi.

***

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Shiho ketika suatu hari Shinichi mengajaknya makan siang di sebuah kafe.

"Mengenai pernikahan kita yang diinginkan oleh Okasan," jawab Shinichi.

Shiho sudah menduga hal itu, "lalu?"

"Aku sudah memikirkannya. Kita menikah saja Shiho,"

Shiho nyaris tersedak tehnya, "nani? Kau gila?! Ran-San bagaimana?"

"Tunggu dulu, aku belum selesai menjelaskan,"

"Oke," Shiho menunggu.

"Kita menikah untuk sementara saja,"

"Ehh?" Shiho terbelalak tak mengerti.

"Kita hanya menikah di atas kertas, menikah kontrak selama dua tahun, sampai Okasan..." Shinichi tak sanggup meneruskan kata-katanya.

Shiho menyentuh keningnya, bingung bagaimana harus menyikapi ide ini.

"Okasan sangat menyayangimu Shiho, aku tahu kau juga menyayanginya. Aku ingin dia bahagia di saat-saat terakhirnya. Itu saja," lanjut Shinichi.

"Kudo-Kun, lalu Ran-San bagaimana?"

"Ran tak perlu tahu. Jika Okasan sudah sampai batas akhirnya. Menjelang kepulangan Ran, kita akan bercerai, kontrak berakhir, kau bebas,"

"Lalu bagaimana dengan Mouri-Sensei? Kisaki Sensei? Kau itu detektif terkenal, kalau kita menikah, seluruh Jepang pasti tahu. Mereka akan menyampaikannya pada Ran-San. Terlebih lagi Yukiko-San pasti menginginkan pesta besar,"

"Kisaki Sensei mendapatkan promosi di Amerika dan Kogoro ojisan akan mendampinginya,"

"Eh? Mereka berbaikan?"

"Sedang berusaha, mengingat klien Kogoro ojisan juga semakin sepi di sini, jadi dia akan ikut menemani Kisaki Sensei ke Amerika. Jadi mereka tak perlu tahu kita menikah. Aku juga akan memberitahu Okasan, kita menikah secara sederhana saja di catatan sipil, karena sangat melelahkan untuknya bila menggelar pesta besar,"

Shiho memejamkan mata seraya menghela napas.

"Sekarang aku tinggal menunggu keputusanmu saja Shiho. Aku mohon agar kau bersedia, demi Okasan," Shinichi memohon dengan sangat.

"Beri aku waktu berpikir beberapa hari saja," pinta Shiho.

Contract MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang