Angel - Realita

3 1 0
                                    

Cerpen ini sebenernya spoiler angel or devil part selanjutnya, tapi karena udh terlanjur aku tulis untuk kelas menulis, yaudah aku share disini aja :")

Happy Reading!

****

Rasa sakit pada betisku tidak cukup untuk menggantikan perasaan sesak saat ibu kembali membicarakan papa. Tanganku sedikit bergetar ketika hendak mengangkat sendok untuk menyuapkan nasi ke mulut. Kepalaku terasa pening meski hanya menatap piring yg sudah setengah kosong dihadapanku.

Sarapan pada minggu pagi ini berjalan dengan normal seperti biasanya,hanya keadaan di dalam diriku yg saat ini tidak baik-baik saja.

"Rafa"

Panggilan ibu membuatku mengangkat pandangan ku dari piring
"Iya bu?"

"dimakan lagi ini keripik belutnya, ini enak banget, dulu pas kita pulang kampung kamu pasti selalu maksa ibu buat beli keripik belut yg banyak, nyampe duit papa habis buat nurutin permintaan oleh-oleh kamu yg banyak dan aneh2"

Aku memejamkan mata merasa tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa lagi. Jika sekali lagi aku mendengar ibu kembali menceritakan tentang papa maka aku tidak yakin akan sanggup melanjutkan sarapan.

"Iya bu"

Tapi ternyata sebesar apapun rasa benci ku pada papa tetap tidak akan bisa membuat ku merasa marah kepada ibu yg selalu memujinya.
Aku tahu, harusnya aku kembali menyadarkan ibu bahwa papa sudah pergi, sekali lagi benar-benar pergi dari kehidupan kami. Raga papa mungkin masih berkelana di bumi ini tapi ingatannya sudah mati jika berkaitan dengan keluarga lamanya. Iya. Itu adalah kami.

Ibu kembali bercerita tentang pernikahan sepupu tiri ku Aliya tanpa mempermasalahkan apakah aku mendengarkannya atau tidak. Aku mengutuk diriku sendiri yg bisa-bisanya merasa tidak sehat sementara besok adalah hari pertama ujian tengah semester. Pikiranku melayang pada kejadian hari kemarin yg menjadi penyebab keadaan ku tidak baik-baik saja sekarang.

****

Setelah menuruni angkot aku menatap sebuah rumah makan dengan banyak karangan bunga bertuliskan ucapan selamat yg tertera nama dari orang-orang penting di daerahku. Pembukaan cabang baru restoran papa atau lebih tepatnya... restoran kami, karena ibulah yg pertama kali membuka waroenx gentonx ini.
Dulu hidupku terasa sangat menyenangkan, memiliki keluarga yg utuh dan lengkap. Meski tanpa ada hubungan darah, tapi rasanya tidak ada penghalang dalam interaksi maupun kasih sayang yg orangtuaku berikan. Hingga ketika tiga tahun yg lalu papa menceraikan ibu kemudian pergi dari rumah tanpa pernah kembali.

Aku tahu saat itu adalah awal dari hancurnya keluarga yg kumiliki. Ibu menjadi stress dan sempat berniat untuk bunuh diri, tapi tuhan memang tidak ingin membuat ibu pergi meninggalkan anak-anaknya terlalu cepat. Sehingga ibu tetap berada diantara aku dan Ravin meski menderita penyakit keras. Karena kecintaan nya pada papa yg terlalu besar membuat ibu sulit untuk melupakan papa dan terkadang masih menganggap bahwa papa masih bersama dengan nya.

Aku yg tidak suka mendengar ibu selalu membicarakan papa, nekat untuk mengatakan kebenarannya pada ibu. Hingga hal tersebut membuat ibu sakit dan kembali stress. Aku merasa bersalah melihat ibu kembakli menderita tanpa papa, karena hal itulah yg membuatku mengambil jalan nekat untuk bertemu papa sekarang.
Tanpa persiapan, dan hanya mengandalkan alamat tempat yg diberikan pak nugroho Membuatku nekat berada disini untuk bertemu dengan papa. Aku tidak tahu harus berbicara apa ketika bertemu dengannya nanti selain menanyakan kabar, tapi yg aku tahu pasti bahwa aku menginginkan papa untuk bertemu dengan ibu. Atau jika dia tidak bisa setidaknya aku akan meminta papa untuk membalas pesan-pesan yg dikirimkan ibu untuk membuat nya merasa lebih baik. Karena aku sudah muak menyaksikan kepedulian ibu pada seseorang yg tidak pernah menganggapnya ada. Hari ini, sekalipun hanya berpura-pura, setidaknya aku ingin bisa membuat ibu merasakan sedikit kebahagiaan ditengah hidupnya yg sulit.

Aku tidak masuk kedalam dan menunggu hingga kerumunan orang tersebut pergi. Kemudian ketika kerumunan sudah menghilang aku memasuki rumah makan berharap bisa menemukan papa disana. Tapi ternyata papa sudah pergi dan akan segera pulang. Aku bergegas berlari menuju parkiran untuk bertemu dengannya. Dengan setengah engap aku memindai lahan parkir dan menemukan papa akan memasuki mobil putih miliknya. Papa tidak sendiri dia bersama dua orang laki-laki yg terlihat sibuk menjawab telepon.

Aku berlari memghampiri papa sebelum dia masuk kedalam mobil kemudian dia menatapku heran.

"Siapa ya?"

Aku terdiam, melupakan segala macam kata yg telah kususun sebelumnya dikepala, Karena aku memepertanyakan apakah papa memang tidak mengenali wajahku?

"Ini aku pa, Rafa"

"Rafa?"

Papa mengerutkan dahi kemudian menatapku lama dan menunjukkan ekspresi sedikit terkejut ketika menyadari sesuatu.

"Rafa anaknya Lina?"

Aku seperti tidak bisa mempercayai pendengaranku sekarang. Mengapa papa hanya menanyakan hal itu tanpa ikut menyertai dirinya, padahal dahulu kami adalah... keluarga.

"Iya"

"Pak ahmad, kenapa lama, ada masalah apa?"

Tanya seseorang yg tadinya sudah di dalam mobil tetapi menghampiri kami di diluar

"Bukan apa-apa, saya segera menyusul"

Papa menghampiri ku kemudian berbicara sesuatu yg membuatku menyadari bahwa papa benar-benar telah menghilang dari bumi ini.

"Saya ga tau tujuan kamu datang kesini untuk apa, tapi kalau yg kamu ingin bicarakan itu tentang keterlambatan uang bulanan Lina, maka besok saya pastikan pak nugroho akan mentransfer uangnya"

Setelah mengatakan hal tersebut, papa pergi melewatiku kemudian memasuki mobil nya. Aku masih berdiri di tempat yg sama, merasa tidak menduga akan mendapat todongan pertanyaan seperti itu. Apakah hanya itu yg papa pikirkan setelah pergi dari kami? Aku tahu papa telah memiliki keluarga baru beserta anak kandung yg sedarah dengan nya tapi aku tidak menyangka bahwa setelah pergi semua kenangan yg pernah papa miliki bersama keluarga lamanya juga ikut lenyap dari ingatannya.

Panasnya cuaca di siang hari yg terik tidak membuatku langsung pergi dari sana. Ada rasa sesak dan sedih yg memenuhi dadaku sekarang. Membayangkan seandainya ibu mengetahui bahwa papa benar-benar telah membuang nya dan hanya menganggap kami orang asing sekarang, membuatku bisa merasakan rasa sakit yg ibu alami. Seperti jantungku tengah ditusuk dan dicabut berulang kali namun tetap tidak mengeluarkan darah, dan hanya menyisakan rasa sakit bertubi-tubi yg tentu saja tidak bisa dilihat orang lain.

Aku pulang kerumah dengan pikiran kosong dan langkah lunglai, rasanya aku tidak bisa menangis meski ingin menjerit hingga seluruh dunia mengetahuinya. Hanya ada diriku sendiri dirumah sendiri karena ibu sedang pergi untuk berobat sementara Ravin sedang berada di sekolah.
Aku menutup semua pintu rumah kemudian menuju kamarku dan mengunci pintunya. Aku terduduk dilantai membiarkan dinginnya ubin menemani kesendirianku bersama rasa sepi di dada.

Perlahan gumpalan air memenuhi pelupuk mataku meminta untuk segera mengalir. Tanpa suara aku mengeluarkan segala sesak yg kurasakan di dada. Tapi rasa sakit ini tetap tidak bisa pergi dengan sempurna karena terlalu besar jika hanya dikeluarkan dengan air mata. Aku mengambil sebuah cutter diatas meja kemudian menggulung celana ku hingga menampakkan betisku yg penuh garis. Aku menggoreskan cutter pada bagian dengan bekas luka yg sudah kering kemudian meresapi segala kesakitan disana. Berharap dengan ini bisa membawa segala sesak yg memenuhi paru-paruku. Tapi aku menggoreskan terlalu banyak dan dalam sehingga ubin yg dingin mulai terasa hangat dalam dudukanku.

****

"Rafa? Kamu kenaoa pucet banget, kamu sakit nak?"

Aku menggeleng, mencoba tersenyum meski sedikit dipaksakan. Aku tidak boleh terlihat sakit dihadapan ibu. Aku tidak ingin menambah beban pikirannya.

"Rafa hari ini mau ke luar bu, mau ngerjain tugas kelompok di rumah Daffin"

"Iya, jangan pulang kesorean ya, mau bawa bekal ga? Takutnya kamu kelaparan nanti"

"Gausah bu, di rumah Daffin banyak makanan"

"Tapi ibu bawain buah sama roti ya, nanti kamu bagi2 sama teman2 kamu, sebentar ibu buatkan bekal dulu ya"
Ibu bangkit dari duduk nya kemudian menyibukkan diri didapur. Aku tersenyum memperhatikan ibu dari kejauhan, meski rasa sakit dibetisku ku tetap tidak hilang tapi bersama ibu membuatku lupa bahwa aku tengah memiliki luka.

Kasih Tak SampaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang