☪
Jeno menatap kalung ditangannya, kantung matanya terlihat begitu jelas, salahkan saja Jaemin yang membuatnya tak bisa tidur. Pikirannya semalaman berkelana, penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Dan pagi harinya Ia harus mencari alasan kepada Ibunya mengapa kaca jendelanya pecah. Kalung itu terlihat sangat berharga bagi Jaemin, padahal hanya kalung biasa?
Hari ini Jeno berniat mengembalikannya, Ia tidak ingin Jaemin datang dan membuat kekacauan lagi. Banyak cara mendekati pemuda manis itu tanpa kalung ditangannya itu, bukan? Jeno memegang teguh kata-kata 'tidak ada yang tidak mungkin'.
Tapi permasalahannya, Jeno sama sekali tidak melihat Jaemin sedari tadi, padahal Ia sudah menunggu di depan gerbang agar tak ketinggalan, tapi sampai sekarangpun pemuda manis itu tidak menampakkan batang hidungnya. Sampai bel masuk berbunyi, Jeno hanya bisa mendesah pasrah, menggenggam erat kalung itu dan bergegas memasuki kelas.
Sementara pemuda manis yang dicari oleh Jeno tengah bermalas-malasan diatas kasur. Ia ditahan, saudara-saudaranya yang overprotektif melarang Jaemin kembali ke tempat banyaknya manusia. Sebenarnya, Ia sangat tidak suka membuang waktu, apalagi misinya masih tidak membuahkan hasil apapun, masih panjang perjalanan hingga misi itu tercapai. Tapi apa yang bisa Ia lakukan jika kedua kakaknya sudah angkat suara.
Menghirup udara sebanyak mungkin, kemudian menghembuskannya dengan kasar. Jaemin berdiri, melangkah di depan cermin besar yang ada di kamarnya, mengamati pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Tangannya terulur menyentuh dada, Jaemin selalu merasa hampa jika jauh dari kalungnya.
Jaemin mengusak surainya yang sudah berantakan, dan beralih ke sisi jendela, dilihatnya jalanan mulai ramai, para warga sudah sibuk beraktifitas. Jaemin sangat benci keadaan dimana dirinya hanya berdiam diri seperti sekarang, itu sama sekali tidak menggambarkan seorang Na Jaemin.
"Kak," Jaemin tersentak saat sebuah tangan melingkar diperutnya, disusul wajah yang menatapnya memohon. "Temani aku,"
"Kemana?"
"Jalan-jalan," Dahi Jaemin mengernyit, tumben sekali adiknya itu mengajaknya berjalan-jalan, biasanya dia lebih suka menghabiskan waktu sendirian. "Ayolah. Aku bosan disini," rengekan anak itu kembali membuat Jaemin mengernyit, menurutnya itu terdengar aneh.
"Tidak," Jawaban itu membuat yang lebih muda mendesah kasar.
"Kak, aku sedang berusaha membantumu, kenapa masih bertingkah bodoh begitu!" Setelahnya, lirikan tajam Ia dapatkan. Rupanya Jaemin tidak mengerti maksud adiknya yang ingin membantunya keluar dari rasa bosan, dan sekarang Ia menganggukkan kepala karena baru sadar.
"Hm, pintar," Jaemin mengusak kepala yang lebih muda, membuatnya merengut tak terima. Mereka berjalan beriringan keluar dari kamar Jaemin, tapi berhenti saat sampai diruang keluarga. Disana terdapat empat orang yang serempak memandang kearah Jaemin dan pemuda disampingnya.
"Mau kemana?" Irene, yang tertua diantara mereka bertanya.
"Tidak apa-apa aku mengajak kak Jaemin keluar?" Tanya si bungsu, tatapannya mengerjap polos.
"Bukankah tubuhmu masih lemah?" Irene rupanya keberatan atas permintaan si bungsu, Ia menatap tajam keduanya.
"Tak masalah, tapi jangan terlalu jauh." Irene mendelik mendengarnya, menatap Jaehyun—adik pertamanya—dengan tatapan sengit. Yang dia khawatirkan adalah Jaemin. Katanya, kondisinya masih lemah, apalagi tanpa kalung itu.
Jisung mengangguk antusias dan menarik tangan Jaemin keluar, Irene hanya menggelengkan kepala melihatnya. Ia menatap tajam Jaehyun, sementara si pelaku malah mengambil apel dan memakannya tanpa rasa bersalah. Dua orang lainnya tersenyum singkat melihat itu.
Jaemin berjalan dibelakang Jisung, mengabaikan tatapan-tatapan kagum dan tanda tanya yang tertuju pada keduanya. Kesempatan langka bisa melihat langsung wajah mereka, walaupun Jisung sering keluar, namun Ia sangat pandai menutup diri.
Kota Psyxros terlihat sangat indah, di dominasi warna putih dan biru yang membawa ketenangan. Tapi sayangnya, penduduknya sama sekali tidak ramah, rata-rata berhati dingin dan memiliki tatapan tajam. Jarang sekali mendengar kata-kata manis dari mulut mereka, karena mereka lebih memilih menunjukkan afeksinya dengan tindakan.
Kastil yang berada diujung disebut kastil Heaven, karena sudah menjadi rahasia umum jika penghuni di sana sangatlah menawan bak malaikat, pun pemimpin mereka berada di kastil itu. Sayangnya tidak ada yang tau bagaimana rupa pemimpin mereka.
"Kau membawaku kemana?" Jaemin menilik sekitarnya yang lumayan sepi, hanya beberapa orang yang berlalu lalang, tak seperti yang tadi.
"Ikut saja,"
Karena Jaemin malas berbicara, Ia memilih untuk mengikuti sang adik, entah kemana tujuannya. Jisung berhenti, membuat langkah Jaemin juga berhenti. Ia memandangi tanaman merambat yang menutupi sebagian tembok, terlihat seperti jalan buntu, namun saat Jisung menyingkirkan tanaman itu, barulah Jaemin tau itu adalah jalan rahasia. Entah bagaimana caranya Jisung menemukan jalan itu.
Untuk pertama kalinya Jaemin terperangah, di depannya terdapat ruangan yang cukup luas, dengan air mancur yang berada ditengah-tengah nya. Kristal es yang berada diatas air itu memantulkan cahaya yang indah di beberapa sudut.
"Bagaimana?" Jisung meminta pendapat sang kakak.
"Apa?"
"Bagaimana pendapatmu?"
"Lumayan," Jawaban singkat itu membuat Jisung memandang tak percaya pada Jaemin. Lumayan, katanya? Jisung merengut, Ia menunduk seraya memainkan jari-jarinya. Memang, tidak boleh berharap lebih pada Jaemin jika tidak ingin menelan rasa kecewa.
Jaemin tersenyum tipis, "Karyamu menakjubkan," pujinya kemudian yang membuat si bungsu mendongak dengan pupil membesar.
"Benarkah?"
"Hm," Jaemin mengelus lembut kepala Jisung. Sang empunya tersenyum tipis, hal langka seorang Na Jaemin memberikan pujian.
Jaemin melangkah ke tengah-tengah ruangan. Tangannya terulur mengambil air disana, kemudian mengarahkannya tepat di bawah kristal itu, sinarnya memantul tepat kearah mata Jaemin, membuat sang empunya tersentak kaget. Jaemin tertegun, Ia melihat bayangan pemuda bersurai perak sekilas, ataukah hanya halusinasi nya?
Untuk memastikan, Jaemin melakukan hal yang sama, dan kini Ia bisa melihat dengan jelas pemuda bersurai perak yang sedang tersenyum ke arahnya. Tapi ada hal lain yang menarik sangat perhatiannya, yaitu pedang yang tertancap di dada pemuda itu, pemuda yang sama yang mengambil kalungnya.
Jaemin menoleh pada Jisung, "Dimana kau mendapat benda itu?" Tanyanya seraya menunjuk kristal yang menggantung.
"Aku menemukannya dijalan dekat Cymorth."
Jaemin mengangguk mengerti, "Jangan beri tau siapapun tentang tempat ini." Ucapnya seraya menepuk bahu Jisung.
•••
Atensi Felix tidak pernah lepas dari seseorang yang baru memasuki cafe itu, orang itu terlihat gelisah dan tak berhenti memandang kalung di tangannya. Felix tau orang itu, Ia juga mengenal kalung itu. Ia berdehem pelan dan menegakkan badannya, beruntung Ia duduk dipojok sehingga keberadaannya tidak terlalu mencolok, beruntung juga Ia memakai Hoodie yang membantu menutupi kepalanya.
Felix memejamkan mata memfokuskan pikiran, perlahan senyumnya tersungging saat melihat Jaemin sudah kembali. Ia membuka mata dan meraih ponselnya, mengirim pesan singkat pada sahabatnya. Selang beberapa menit, Felix lagi-lagi tersenyum saat melihat Jaemin memasuki cafe, bertepatan dengan Jeno yang berdiri hendak keluar dari tempat itu, membuat mereka berpapasan didepan pintu.
☪
Emang ada yang mau baca tengah malem begini?😢
KAMU SEDANG MEMBACA
MALVERA [NoMin]
Fantasy[fantasy] [bxb] [gore] ☪ Takdir sudah tertulis untuk seluruh manusia, itu mutlak dan tidak bisa dibantah. Namun Jeno dan Jaemin memilih menentang takdir, yang mana membuat mereka mendapat hukuman mengerikan yang tak terlupakan, kisah mereka menjadi...