|| Tiga Puluh Tujuh

815 125 59
                                    


Terjebak ||


Sesudah menemui koleganya tadi, Ano segera masuk kamar. Mendekati istrinya sedang terpaku melihat gawai pintarnya.

"Sudah beres-beresnya, Ukara?"

"Eh, belum, Mas." Ukara terkejut segera menyimpan smartphone-nya ke dalam tas.
Ano tersenyum, masih saja istrinya ini salah tingkah.

"Pesan dari siapa, Ukara? Kok kamu bengong?"

"Eh, nggak apa-apa Mas. Bukan dari siapa-siapa." Ukara menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Aku mandi dulu ya, Mas."

Ano mengangguk, menatap istrinya menghilang di balik pintu. Dia tersenyum, bersyukur dengan jalan cerita hidupnya yang tak terduga. Kalau orang bilang cinta itu buta, Ano tak sepenuhnya setuju. Butuh waktu untuk Ano menyadari kalau rasa yang dia miliki pada Kara adalah cinta. Karena mahasiswi yang tak begitu menyenangkan di awal pertemuan ternyata menyimpan sisi memesonanya.

Tak lama smartphone Kara berbunyi, dengan tergopoh-gopoh Kara keluar dari kamar mandi dan mengambilnya dan kembali masuk ke kamar mandi. Hemmh mencurigakan. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Tak menunda lagi Ano segera mengetuk pintu.

"Kara, kamu baik-baik saja di dalam?"

"Baik, Mas."

"Kalau baik buka pintunya dulu."

Butuh waktu agak lama untuk pintu terbuka. Kara keluar terlihat segar dengan dress kasual. Yang kini lebih menarik perhatian Ano adalah ekspresi Kara yang cemas.
Ano menarik Kara untuk duduk di sisi tempat tidur. Meminta gawai yang kini dipegang erat oleh Kara. Dengan ragu Kara memberikannya pada suaminya.

"Pak dosenmu ini sudah sah menjadi pendampingmu. So, no secrets between us," ujar Ano sambil menggulir aplikasi pesan dalam gawai.

Yang pertama ditemukan adalah sebuah pesan dari nomer asing. Ano terkejut mendapati pesan ancaman di dalamnya.

"Mas Anva, please jangan bilang-bilang siapa-siapa. Aku takut Rindu diapa-apakan oleh mereka."

"Panik bikin kamu tidak berpikir jernih, ya, Kara. Di masjid tadi kamu lihat Zafran?"
Kara mengangguk kecil.

"Kalau benar Rindu diculik dia pasti sudah panik dan tidak akan mungkin santai-santai datang ke pernikahan sahabatnya."
Kara meringis.

"Eh, iya, ya, Mas. Tapi hari ini Rindu tidak datang." Kara menatap pada suaminya. Cemas menghilangkan kegugupannya.

"Baru dua jam lalu Zafran menginfokan kalau kondisi Rindu sudah membaik."

"Rindu, kenapa?"

"Kemarin dia sempat pendarahan. Kamu belum tahu?”

Kara menggeleng.

“Tadi Zafran juga datang cuma sebentar pas aqad. Dia harus menemani Rindu.”

“janinnya gimana, Mas?” Kesibukannya menjadi calon pengantin benar-benar membuat Kara tak perhatian pada Rindu. Dia merasa bersalah.

“Alhamdulillah janinnya ga kenapa-kenapa tapi Rindu harus bedrest.” Ano menghela napas tak habis pikir. “Jadi kamu jangan langsung percaya sama pesan-pesan beginian.”

Kara mendesah lega, Rindu dan bayinya sehat. Namun sedetik kemudiaan Kara kembali was-was. “Tapi dari mana orang ini tau kalau Rindu temanku?”

Ano menatap pada Kara, menangkap raut cemas yang jelas terlihat di wajah istrinya. “Kalau feeling-ku benar ini pasti Rey.”

“Rey?” Hati Kara mencelus. Kenapa dia lagi.

Ano mengenggam tangan Kara. Berusaha menguatkan dan mengurangi cemas Kara. “Pihak kepolisian beberapa minggu lalu menghubungiku.  Komplotan yang mengeroyokku tertangkap kamera dashboard mobil yang sedang terparkir dekat lokasi. Rey juga saat itu ditangkap, tapi dia sama sekali tak ada dalam rekaman. Lucunya dia juga punya alibi.”

UKARA (Tamat)Where stories live. Discover now