_
_Jangan pakai hati dulu ||
Segala kalimat penuh sesal dan kesal hendak Kara tumpahkan saat melihat sosok dosen yang batal jadi kakak iparnya sedang berjalan terburu di loby. Kara tak habis pikir, bisa-bisanya Pak Anva membatalkan sepihak perjodohannya dengan Tari. Ya kalau tidak niat dari awal seharusnya bilang kan. Namun segala rangkaian kalimat yang telah tersusun di benaknya harus terburai seketika saat Kara teringat obrolannya dengan Rindu.
Karena Rindu tak menyalahkan Pak Anva. "Adalah hak seorang laki-laki untuk memutuskan apakah ada ketertarikan atau tidak selama menjalani proses ta'aruf. Kalau tidak ada ketertarikan mengapa harus dipaksakan. Ya kan?" Begitu kata Rindu kemarin. "Taaruf bukan pernikahan Kana, kalau batal tak lantas jadi aib," tambah Rindu kemudian.
Tidak, Kara tidak menceritakan perihal Pak Anva yang berta'aruf dengan Tari pada Rindu, karena proses yang masih dini itu sepatutnya dirahasiakan. Masih terjaga kehormatan Tari saat prosesnya tak berlanjut. Kara kemarin hanya bertanya bagaimana pendapat Rindu tentang laki-laki yang membatalkan ta'aruf.
Kara menghela napas saat punggung Pak Anva berjalan semakin menjauh. Setelahnya, bahu yang merosot tak bersemangat milik Kara tiba-tiba didekap dari belakang. Rindu--si pendekap, hanya nyengir polos saat Kara terkejut dan beristighfar.
"Maaf Kana, peace." Rindu menunjukkan jari kelingkingnya, lambang peace khas Rindu.
Kara memberengut protes tapi tak berkomentar. Lebih baik dia melanjutkan berjalan menuju perpustakaan. Perpustakaan adalah tempat nongkrongnya sekarang untuk mencari bahan untuk skripsinya semester depan. Minimal semester ini Kara sudah mengajukan judul, syukur-syukur langsung di-acc jadi bisa lanjut.
"Kanaa, Aku ikut dong." Rindu berlari kecil menyamai langkah Kara.
Di perpustakaan Kara mengambil posisi duduk di sudut, di tangannya sudah ada skripsi dari kakak tingkat yang sudah lulus sebagai bahan riset. Kara sudah terpikir judul apa yang hendak diambil, tinggal Kara banyak-banyak membaca skripsi dengan topik serupa. Rindu yang baru bergabung menghempaskan tubuhnya di kursi sebelah Kara. Kara melirik sekilas, ada yang berbeda dari Rindu hari ini. Rindu memang selalu ceria, tapi auranya lebih cerah sekarang.
"Kenapa sih Kana? Masih galau sama pertanyaan kamu kemarin?"
Kara merespon dengan senyum, sejujurnya Kara sudah bisa menerima keputusan Pak Anva. Saat membesarkan hati Tari, dada Kara juga lebih plong.
"Kamu tahu apa yang membuat kita bisa berlapang dada menerima qadla Allah saat ta'aruf kita tak berlanjut?"
Kara mengangkat kedua alisnya.
"Jangan jatuh hati duluan kalau belum mengucap ijab qabul." Rindu mengangguk-angguk yakin. Teorinya tak meleset kali ini.
Kara tersenyum mengiyakan karena itulah yang dia lakukan saat menolak Kak Zafran kemarin. Siapa yang tak tertarik dengan Kak Zafran, tapi Kara menimbang-nimbang resiko jika terus melanjutkan sedangkan bapaknya dan Ray belum dia selesaikan. Maka Kara belum pakai hati. Saat menolak, Kara hanya berkeyakinan kalau berjodoh pasti ada jalan untuk mereka bisa bersama. Bisa saja nanti, saat Bapaknya sudah berlapang dada menerima penolakannya pada Ray.
Rindu kembali menunduk membaca, Kara melirik judul buku yang Rindu baca. Mata sipit Kara semakin menyipit saat memicing. Tumben Rindu membaca buku seperti itu. Apa Rindu...? Kara menggeleng, kalau benar Kara turut bahagia pastinya. Tapi siapa laki-laki beruntung itu? Kara tak terpikirkan siapa, dia kembali menunduk, melanjutkan kegiatan membacanya.
YOU ARE READING
UKARA (Tamat)
General FictionFirst publish May 6, 2017 Bagi Hideaki, embun itu istimewa. Bagi Ano, biasa saja. Bagi Hideaki, Ukara itu kesayangan. Bagi Ano biasa saja. Sampai Ano menyesali semuanya. Sudah terlambatkah? Background credit to freepik