_
_Denial ||
Suasana kelas hening. Tiap mahasiswa serius menekuri lembar ujiannya. Pun demikian dengan Kara, sudah hampir seminggu ini Kara belajar untuk tiap mata kuliah. Dan mata kuliah yang diujikan hari ini tak begitu sulit bagi Kara, karena dia suka membaca materinya. Hanya saja, Pak Anva, dosen yang sedang mengawas hari ini sedikit mengganggu konsentrasi Kara. Tadi pagi saat Kara bersiap berangkat bersama Hide ke kampus bertemu, dia sempat bertemu dengan Pak Anva di parkiran. Alih-alih membalas senyum formalitas Kara, Pak Anva bahkan tak melirik sama sekali. Okay ... sampai berapa lama Kara bisa bertahan. Tanyakan saja pada pepohonan di depan balkonnya.
"Waktu habis, silakan dikumpulkan." Ucapan tegas Pak Anva membuat Kara refleks membaca kembali lembar ujiannya. Memastikan tidak ada nomor yang terlewat olehnya.
"Sini Kana, aku yang mengumpulkan." Rindu berbisik di samping kara, mengambil kertas milik Kara, Rindu lalu berjalan ke depan kelas.
"Makasih, ya." Pandangan Kara mengikuti Rindu yang ke depan kelas. Kara menyaksikan Pak Anva tersenyum kecil pada Rindu usai Rindu menyimpan kertasnya.
Hahh ... rahang Kara terjatuh dengan dramatis. Lalu kara menggigit gemas bibir bawahnya. See ... ill feel-nya Pak Anva hanya kepada Kara. Sepertinya mulai saat ini Kara harus belajar memasang tembok ketidakpedulian akan sikap dosen jutek itu padanya.
"Perpus, yuk, Kara," ajak Rindu setelah Pak Anva sudah keluar ruangan.
Kara mengiyakan dengan segera. Semoga nanti saat dia menemukan literatur yang dia butuhkan, kekesalannya akan berkurang.
<<>>
Ano termenung di kamarnya. Tidak, Ano tidak berada di Oceanost. Dia sedang berada di rumah orang tuanya. Pemandangan kolam renang dan taman yang terlihat dari jendela kamarnya melambungkan pikirannya. Seperti mengajaknya untuk terbang ke atas tapi kemudian terjatuh tak kira-kira. Sampai sekarang Ano belum mendapat solusi dan jawaban akan kekacauan perasaan yang belakangan dia alami.
Bangkit dari meja belajar Ano seperti mendapat pencerahan. Angkasa, si calon pengantin yang melangkahinya itu semoga bisa memberikan jalan keluar. Sayangnya tepat berada di depan pintu kamar Angkasa, Ano mengurungkan niatnya.
Ahh, Ano, what a noob. Untuk hal sepele begini saja harus nanya ke Angkasa. Hal sepele yang telah memorakporandakan hidupnya yang sebelumnya tenang.
Uh, Angkasa pasti akan menertawakannya habis-habisan. Ano urung mengetuk pintu, namun detik itu juga pintu kamar Angkasa terbuka. Menampilkan Angkasa dengan muka bantalnya.
"Apa sih, Mas?" tanya Angkasa dengan suara parau.
Ano sejenak berpikir, bukannya heran dengan kenapa tiba-tiba Angkasa tiba-tiba membuka pintu. Ada yang lebih memancing rasa heran. "Besok kamu nikah, tapi kok kamu bisa tidur?"
"Ya, bisalah, Mas. Aku kecapean bantuin Ibunda Ratu menyiapkan seserahan untuk Tari. Biar seger aku harus tidur awal."
Ano berdecak. Sesaat dirinya iri pada Angkasa. Kisah Angkasa simple. Dia punya perasaan pada Tari, lalu mengkhitbah. Sekalipun ibunya sempat keberatan karena khawatir Pak Sanjaya akan menolak, tapi Angkasa bisa meyakinkan semuanya. Termasuk meyakinkan Pak Sanjaya. Khitbahnya diterima, persiapan tiga bulan lebih dari cukup untuk akad dan resepsi bisa dilangsungkan besok.
"Mas, Mas, ... calling Oceano to the earth," oceh Angkasa mengembalikan fokus Ano.
"Kok, kamu bisa tau Mas ada di depan pintu kamu?"
ESTÁS LEYENDO
UKARA (Tamat)
Ficción GeneralFirst publish May 6, 2017 Bagi Hideaki, embun itu istimewa. Bagi Ano, biasa saja. Bagi Hideaki, Ukara itu kesayangan. Bagi Ano biasa saja. Sampai Ano menyesali semuanya. Sudah terlambatkah? Background credit to freepik