_
_Oceanost ||
Ano telah tiba di Oceanost. Sebuah resto dengan menu jepang sebagai sajian utama. Sudah terlalu terlambat untuk makan malam, tak mengapa karena bukan itu tujuan Ano ke tempat ini.
Memindai ruangan luas di lantai satu, Ano melambai pada Gondo. Hanya Gondo pegawai yang tersisa, karena sebagian besar karyawan sudah pulang sejak satu jam yang lalu.
Gondo tampaknya melakukan tugasnya dengan baik. Kursi-kursi bernuansa mint blue dengan meja berwarna prussian blue sudah tertata, siap diduduki di keesokan hari. Lantai marmer sudah mengkilap, besok ketika lampu efek dinyalakan akan memberi kesan genangan air laut berwarna biru. Dan tak lupa juga ornamen-ornamen berbentuk makhluk laut yang tak bertulang belakang, selalu terpajang rapi dan kinclong tanpa debu.
Resto Oceanost sukses memberi kehangatan lautan pada pengunjungnya. Usai menyapu pandangan di lantai satu Ano naik ke lantai dua, menuju pintu sebelah kiri. Berbeda dengan lantai satu, lantai dua didominasi nuansa kekayuan. Furniture dari kayu jati, lantai kayu, sampai dinding yang berwarna cream terasa kontras dengan lantai di bawahnya. Sengaja, lantai dua diperuntukkan untuk kantor sehingga tak butuh decor yang nyambung dengan judul resto ini.
Tak mendapati siapapun di sofa Ano segera menuju balkon. Manajer Restonya pasti sedang melakukan kebiasaannya di malam hari. Duduk di balkon ditemani kopi pekat dan sebuah figura foto.
Benar saja Hide sedang bersandar lelah di kursi malas sambil memejamkan mata.
"Assalamu'alaikum, ramai hari ini Hide?"
"Hemhh Wa'alaikumussalam."
Ano tertawa kecil. Hide tak perlu menjawab lengkap, dari nadanya menjawab salam Ano sudah tahu Restonya hari ini ramai seperti biasa.
Hide lelah, Anopun lelah. Dia segera menghempaskan tubuhnya di kursi satunya turut memejamkan mata. Lama berselimut Hening Hide akhirnya menoleh pada Ano.
"Ada titah apalagi dari kanjeng Ratu?"
"Baginda Raja tepatnya, Aku disuruh balik ke kampus. Sudah cukup setahun Aku main-main, gelar doktoralku harus dieksiskan." Ano menjawab dengan mata terpejam dan tersenyum hambar.
Kerutan di dahi Hide semakin dalam. "Kalau kamu mengajar... tuntutan mencari permaisuri sudah tak ada berarti?"
"Worse, aku sudah dicarikan permaisuri. Tinggal ijab kabul, lalu dilanjutkan dengan prosesi pembuatan Ano junior sebagai penerus trah Setha."
Hide tersenyum geli dengan istilah-istilah yang digunakan Ano. Hilang sudah kantuknya, mencari tahu kelanjutan cerita Ano lebih menarik saat ini.
"Lalu rencanamu apa?"
"Tak ada rencanaku Hide. Yang ada aku sudah mengiyakan apapun yang sudah direncanakan Kanjeng Ratu dan Baginda Raja."
Hide mendengus. Seharusnya dia sudah terbiasa dengan Ano yang penurut.
"Ajari aku hidup sepertimu Hide. Membujang, bebas, tanpa tuntutan, dan tanpa beban. Karena kalau bukan aku yang memilih permaisuriku aku tak yakin akan tertarik."
"So choose then...."
Ano menggeleng, kini posisinya sudah duduk tegak. "Semua wanita tak ada yang menarik perhatianku. Dengan senang hati mereka tunduk dan memberi sinyal 'Marry Me'."
Hide tertawa mendengar jawaban Ano. Sesaat setelahnya Hide menjawab serius. "Tabatul itu perbuatan yang dibenci Rasulullah. Anak muda sepertimu harusnya menggunakan produktifitasnya untuk memperbanyak keturunan umat Nabi Muhammad."
Ano mendengus menatap Hide, Hide seakan tak berkaca. Sudah lama Hide membujang, hidup bebas tanpa ikatan.
"Kalau bisa memilih aku tak kan hidup membujang, No." Hide menjawab dengusan Ano.
Ano tersenyum misterius. "Kalau begitu, gadis cilik dalam foto itu berapa usianya sekarang? Aku yakin dia mewarisi wajah rupawan dengan mata sipit berkelopak milikmu. Juga hati malaikat sepertimu. Atau tak kalah cool dari kamu Hide."
Hide menaikan alisnya, heran dengan pengalihan topik oleh Ano.
"Dia masih balita ya?"
Hide mengabaikan pertanyaan Ano, kembali bersandar di kursi malasnya.
"Yah, pedofil dong jadinya," simpul Ano. Hide memang tak pernah terbuka tentang putrinya. Hanya fotonya yang memang selalu ada di meja kerja Hide.
Tak berhasil merayu Hide untuk dijodohkan dengan putrinya, Ano bangkit dan melangkah masuk. "Aku naik dulu, Hide. Besok pagi sekali harus ke kampus."
Hide mengangkat tangannya, tanda mempersilakan Ano pergi. Begitulah hubungan persahabatan lintas generasi antara Ano dan Hide. Hide memang bekerja sebagai manajer Resto Oceanost milik Ano. Tapi hubungan mereka lebih tepat bila dikatakan hubungan persahabatan. Lebih banyak Ano yang curhat pada Hide, karena Hide 15 tahun lebih tua dari Ano. Hide sudah Ano anggap sebagai ayah kedua.
Menaiki tangga menuju lantai tiga Ano sudah tak sabar untuk merebahkan tubuhnya di kasur favoritnya. Nuansa abu-abu segera menyambut saat Ano membuka pintu. Abu-abu selalu memberi kesan hangat bagi Ano.
Restonya memang bertemakan laut tapi sesungguhnya Ano tak pernah nyaman dengan warna biru. Maka untuk design interior lantai tiga, Ano memilih warna Abu-abu.
Percakapan dengan ayahnya saat makan malam cukup menguras emosi Ano. Tidak, Ano tidak menanggapi dengan protes, teriakan, atau bahkan makian. Ano menanggapi dengan anggukan. Itulah agaknya yang membuat dirinya lelah.
Tak ingin repot-repot bersih-bersih di kamar mandi, Ano hanya membuka kemeja dan singletnya. Tidur bertelanjang dada adalah kebiasaannya sejak kecil. Melepaskan sepatu dan melonggarkan sabuk, Anopun tak ingin repot-repot membuka kaos kaki. Kesadarannya melebur dengan gelap yang membisu, sesaat setelah Ano merebah di atas tempat tidur king size berseprai putih miliknya.
Bersambung
««»»
Islam mendorong untuk menikah. Menikah itu lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan, lebih menenangkan jiwa dan lebih menjaga agama:
Rasulullah saw juga melarang tabattul yaitu tidak menikah bagi orang yang mampu menikah. An-Nasai telah mengeluarkan dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw:
«أَنَّهُ نَهَى عَنِ التَّبَتُّلِ»
"Bahwa Beliau melarang membujang/tabattul (tidak menikah selamanya)."
««»»
AN.
Siapa saja yang tersesat di lapak ini, terimakasih telah membaca.
Semoga memperoleh kemanfaatan.Salam kenal
-Pena Laut-««»»
YOU ARE READING
UKARA (Tamat)
General FictionFirst publish May 6, 2017 Bagi Hideaki, embun itu istimewa. Bagi Ano, biasa saja. Bagi Hideaki, Ukara itu kesayangan. Bagi Ano biasa saja. Sampai Ano menyesali semuanya. Sudah terlambatkah? Background credit to freepik