_
_Reyfand ||
Kara tiba di sebuah rumah berlantai dua. Rumah besar bercat putih dengan halaman luas itu selalu tampak asri. Rumah yang dia tinggali selama 17 tahun. Membuka pagar dengan gontai, Kara segera di sambut oleh Pak Slamet.
"Baru pulang Non?"
"Ya Pak. Posnya ga usah dijagain terus Pak, ga akan kabur kok."
"Ah Non Kara bisa saja. Memang tugasnya Satpam di Pos Non."
Kara menanggapi dengan senyum, sampai mendekati teras senyumnya perlahan memudar. Ada BMW hitam terparkir tepat di bawah pohon. Ahh dia lagi. Dengan berjingkat Kara melangkah ke arah samping rumah, masuk lewat dapur sepertinya lebih aman.
Setibanya di dapur, dengan perlahan Kara menutup pintunya. Dia benar-benar malas menghadapi tamu itu. Kara sudah cukup lelah di kampus, ogah kalau di rumahpun harus menghadapi tamu yang nggak banget itu.
"Non," panggil Mbak Padmi mengejutkan Kara.
Kara segera mendekatkan telunjuknya ke bibirnya, memberi tanda Mbak Padmi agar tak berisik.
"Non, ada Den Rey tuh." Mbak Padmi bicara setengah berbisik.
"Mbak Padmi nggak usah bilang apa-apa deh, biar dia nungguin sampai jamuran. Kalau bilang saya belum pulang tar bohong lagi."
"Saya ga berani Non, nanti Tuan marah lagi. Den Rey kan tahu jadwalnya Non pulang."
"Aman kalau Mbak ga usah bilang apa-apa."
"Non...," ucap Mbak Padmi menggantung.
Kara mendengus, kesal juga sama Rey.
"Kita berdua emang nggak akan bilang apa-apa. Tapi Den Rey pasti udah ngadu sama Tuan."
Baiklah laki-laki macam apa yang suka ngadu, dari dulu Kara memang tak simpatik pada laki-laki itu.
"Ck, ya udah yukk, tapi Mbak Padmi temenin yaa. Saya nggak mau berdua-duaan." Dengan malas Kara menuju ruang tamu diikuti oleh Mbak Padmi.
Di ruang tamu Rey segera tersenyum lebar menyambut Kara. "Kok nggak ketahuan masuknya Ra."
Kara tak menjawab, dia duduk berdempetan dengan Mbak Padmi di ujung sofa. Mbak Padmi terlihat kikuk berada diantara Rey dan Kara.
"Mbak Padmi nggak masak?" tanya Rey yang terdengar seperti memberi kode Mbak Padmi agar menyingkir.
"Mbak Padmi disini saja," pinta Kara tak ramah.
Rey tersenyum namun rahangnya mengeras. Tidak mudah memang menghadapi Kara. Tapi tampaknya Rey tak keberatan, demi calon istri.
"Mas Rey punya dua tiket nonton Ra, kamu mau nggak nemenin Mas nonton."
"Kamu pengin ditemenin nonton Rey?"
"Manggilnya Mas Rey Ra, atau Mas Reyfand juga boleh."
Kara mendengus jengah, ada yang bisa nendang orang ini ke gurun sahara nggak?
"Iya Mas pengin berdua nonton di Bioskop, itung-itung kencan."
"Kalau pengin ditemani nanti bisa kuminta Pak Slamet yang nemenin."
Rey tertawa mengejek. "Kamu masih main-main sama hubungan ini Ra. Kamu itu calon istriku, kalau Pak Sanjaya tahu kelakuan kamu bisa semakin dipercepat pernikahan kita." Belakangan Rey memang bersifat defensif terhadap penolakan Kara.
"Rey denger ya, Aku nggak pernah setuju jadi calon istri kamu. Dan untuk yang ke-96 kali aku jelaskan sama kamu. Nggak ada kencan dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Dan setiap kamu ke sini, jangan harap aku sudi nemuin kamu kalau nggak ditemani Mbak Padmi. Dan satu lagi, jangan jadi tukang ngadu." Kara bicara dengan napas memburu. Kesabarannya selalu diuji dalam menghadapi makhluk satu ini.
Bagi Kara, Rey tak lebih dari pengusaha muda yang tak gentle. Menggunakan Pak Sanjaya untuk mengikat Kara. Sudah sering Rey merayu Kara agar mau berkencan atau setidaknya malam mingguan. Namun sesering itu pula Kara tegas menolak, karena aturan Islam yang Kara pahami tidak membolehkannya.
Kara kini malas memandang Rey. Pandangannya dibuang ke pajangan kristal di sisi kirinya. Wajah tampan kalau otak minus apa gunanya. Mbak padmi menunduk, memainkan jemarinya. Entah apa yang dia pikirkan namun berkali-kali dia menghela napas.
"Ya dari pada ribet. Jadilah mahromku Ra, kita merit," ucap Rey kemudian.
Ya Rabb, ni orang butuh mandi pasir kali ya.
Bersambung
««»»
Oya mohon masukannya, kalau part pendek-pendek gini nyaman ga sih bacanya. Atau mau yang panjang tapi update seabad sekali. Hehe.
-Pena Laut-
««»»
YOU ARE READING
UKARA (Tamat)
General FictionFirst publish May 6, 2017 Bagi Hideaki, embun itu istimewa. Bagi Ano, biasa saja. Bagi Hideaki, Ukara itu kesayangan. Bagi Ano biasa saja. Sampai Ano menyesali semuanya. Sudah terlambatkah? Background credit to freepik