Cantik ||
Ini kali pertama Kara keluar kota. Setelah berjam-jam menempuh perjalanan dari Jakarta ke Sorong lalu melanjutkan perjalanan dengan boat ke penginapan, maka begitu tiba siang tadi, Kara memilih tidur.Penginapan ini berupa sebuah resort dengan pemandangan langsung menghadap ke laut. Bangunan resort terbuat dari kayu kokoh serba coklat berpadu dengan tirai-tirai berwarna putih.
Kamarnya pun luas, dengan tempat tidur king size dengan sprei berwarna putih. Yang Kara pikirkan tadi saat masuk kamar adalah tidurnya akan nyaman. Benar saja tidurnya sangat nyenyak. Saat bangun dia tidak menjumpai siapa pun di penginapan. Dia segera Sholat Ashar dan menjamaknya dengan Shalat Dzuhur. Sampai sholatnya usai pun Anva belum juga kembali.
Kara mengenakan jilbab dan kerudungnya. Dia akan mencari suaminya, tadi Anva bilang dia akan snorkeling. Begitu Kara membuka pintu semilir angin segera menyambutnya. Dari kejauhan dia melihat seseorang yang menenteng peralatan snorkeling.
Kara tersenyum seseorang itu adalah suaminya. Dosen galak yang qadarullah menjadi jodohnya. Selama ini Kara hanya melihat Anva sebagai dosen yang galak. Atau pemilik Oceanost yang dia segani. Tak ada pandangan apa pun padanya. Tapi sejak dalam perjalanan tadi Kara tak bosan-bodan mencuri pandang pada suaminya.
Hal yang baru dia sadari kalau suaminya punya alis yang tebal seakan dilukis. Hidung mancung dengan rahang yang tegas. Kulitnya mulus seperti rajin perawatan karena tidak ada satu pun jerawat. Satu kata untuk merangkum semuanya, tampan.
Saat suaminya melambaikan tangan dengan semangat. Kara membalas dengan senyuman.
"Kesini," teriak Anva mengajak Kara.
Kara menghampiri. Anva ternyata mengajaknya ke sebuah teras di atas laut dengan kursi malas. Usai menyimpan alat snorkeling-nya Anva memilih duduk di lantainya yang terbuat dari kayu dan Kara duduk di sebelahnya. Kaki mereka dibiarkan tergantung menyentuh air laut. Kara tak mengenakan kaus kakinya dan membiarkan jilbabnya basah menyentuh air laut.
"Kenapa ga bangunin Kara?"
"Kamu kelihatan capek banget. Jadi habis sholat Dzuhur tadi aku snorkeling sendirian."
"Mas Anva sering, ya, ke sini?"
Anva mengangguk. "Dulu kalau lagi pusing sama urusan di Jakarta aku tinggal kontak temenku minta disediain kamar di sini."
"Sendirian?"
Anva berbalik sepenuhnya menghadap Kara. "Kok, mahasiswiku ini jadi kepo sama dosennya?"
"Apa sih Mas Anva. Cuma pengin tahu aja."
"Pengin tahu juga kalau aku ke sini bareng perempuan?"
Duh Mas Anva tinggal jawab aja, kok kemana-mana.
"Ya, itu juga sih."
"Tenang aja, aku cuma berani ke sini berduaan dengan perempuan cuma sama yang sudah kusahkan dengan akad."
"Ooh, ga seru."
Anva membulatkan mata. "Kok, ga seru?"
"Kan masih ada Ibu. Mas Anva ga ngajak Ibu?"
"Oo ...." Anva tertawa kecil. "Kalau Kanjeng Ratu lebih suka diajak ke tempat ramai."
"Sepulang dari sini kita ke rumah ibu, ya, Mas."
Karena Bu Ratu disebut-sebut Kara jadi teringat. Pasca kejadian malam itu esok harinya ibunya dan mertuanya segera menelpon karena khawatir.
"Bu Mira atau Bu Ratu?"
YOU ARE READING
UKARA (Tamat)
General FictionFirst publish May 6, 2017 Bagi Hideaki, embun itu istimewa. Bagi Ano, biasa saja. Bagi Hideaki, Ukara itu kesayangan. Bagi Ano biasa saja. Sampai Ano menyesali semuanya. Sudah terlambatkah? Background credit to freepik