_
_Luka ||
"Pak Anva...."
Teriak saja sesukamu, Ano tak peduli. Sudah cukup hari-hari Ano belakangan ini dihantui gadis itu. Minggu depan gadis itu sudah tak punya kesempatan.
Ano terus berjalan menuju ruang jurusan. Setibanya di dalam, Ano melempar senyum kecil pada dosen-dosen yang ada di dalam. Dan berjalan ke meja paling ujung, meja kerjanya.
Menyimpan tas berisi laptop, lalu Ano mengeluarkan smartphone-nya. Mengetik kata 'OK' di atas virtual keyboardnya.
"Pak, kalau saya tidak mengambil mata kuliah Bapak saya harus nambah satu semester lagi," lirih Kara.
Ano menghentikan kegiatannya dengan smartphone, menoleh malas pada Kara. Gadis ini... ternyata belum menyerah juga. Ya, Kara tetap mengikuti Ano ke ruang jurusan. Nekat juga.
Ano mendengus, kenapa harus bertemu Dia dengan kerudung yang lusuh lagi. Dan apa itu, pakaiannya ada jejak debunya. Belum sandal gunungnya yang sudah sewarna debu, tak ada outfit lain untuk ke kampus apa. Mahasiswa penerima beasiswa juga lebih baik dandanannya dari pada dia.
Ano bergeming. Mengambil agendanya Ano lebih memilih sibuk menulis, menulis jadwalnya untuk satu atau dua minggu ke depan.
"Pak," ucap Kara menggantung. Terlihat Dia menutup mata dan menarik napas dalam. "Kalau semester depan Saya belum lulus Saya akan dinikahkan."
Ano tertawa mengejek. "Baguslah, kalau kamu ga punya biaya kamu bisa meminta bantuan sama suami kamu. Selesai."
"Saya...." Kara kini terisak, satu per satu bulir air mata luruh di atas pipinya. "Saya akan dengan senang hati menikah dengannya dan berhenti kuliah jika dia laki-laki bertaqwa." Air mata Kara luruh tak terbendung, nadanya tegas namun terdengar penuh sesak.
Perempuan dan air mata, dua hal yang paling Ano benci. Ditambah lagi kini Ano dan Kara jadi tontonan gratis dosen-dosen di jurusan. Ano jadi seperti seorang brengsek yang hobi bikin cewek nangis.
"Tapi dia bukan laki-laki bertaqwa," lirih Kara lagi. Dia menunduk dan berbalik keluar dengan gontai.
Kara berucap lirih, namun cukup untuk terdengar oleh telinga Ano juga Zafran yang ternyata berdiri mematung di belakang. Kara sedikit terkejut saat berbalik dan menatap Zafran sesaat sebelum berlalu. Begitupun Zafran, ah ekspresinya itu. Haruskah Ano menonton drama siang-siang begini.
"Yuk bro, jaga pandangan," ajak Ano merangkul Zafran. Karena Zafran bergeming dan sedikit shock.
Bahkan saat mereka tiba di Dien's Cafe. Zafran lebih banyak terdiam. Soto kuning menjadi menu yang menemani makan siang mereka.
"Sudah Fran, dia sudah punya calon. i have told you, you deserve better."
Zafran tersenyum kecil. Keduanya kemudian makan tanpa obrolan, tenggelam dengan pemikiran masing-masing. Zafran? Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ano? Dia sedikit terganggu dengan tangis gadis itu, selain akal-akalan jam tangan dia juga pakai air mata. Uhh, perempuan.
Semua hidangan di meja sudah tandas, ternyata tanpa obrolan kegiatan makan bisa selesai lebih cepat.
"No, tadinya aku ingin menunggu dia lulus sarjana dulu. Tapi sepertinya Aku harus mengkhitbah dia segera."
Ano menatap datar pada Zafran. Sahabat yang lebih muda dua tahun darinya ini benar-benar sedang dimabuk cinta.
"Baguslah, jadi ada yang membayari biaya tambahan semesternya," sinis Ano.
Zafran menggeleng. "Binar matanya penuh luka No, aku hanya ingin berada di sampingnya untuk melindunginya."
Fix, Zafran yang selalu menjaga pandangan saja bisa jatuh pada pesona gadis yang enggak banget bagi Ano. "Jaga pandangan Fran."
"Justru aku menikahinya agar Aku bisa jaga pandangan. Menghalalkan segalanya, sehingga tiap memandangnya Allah tak murka padaku."
"Ck, sudah habiskan kopimu. Kita ada kajian di Masjid dengan Ustadz Hanif kan."
Zafran tak banyak protes, Kajian mingguan mereka diganti jadwalnya jadi hari ini. Tak ada yang lebih mereka nantikan selain mendengar penjelasan tafsir Al-Qur'an dari Ustadz Hanif. Mensyukuri keislaman mereka dengan banyak mengkaji dan mengikatkan diri dengan aturan Islam. Bersyukur untuk jam siang Ano tak ada jadwal mengajar. Mahasiswa tingkat satu sedang ada kegiatan ke lapangan.
»
Ano berjalan menuju pintu timur, tempat fortuner-nya diparkir. Saatnya pulang setelah dua jam penuh kajian dari Ustadz Hanif. Ada beberapa lahan parkir di kampus ini. Parkiran di pintu timur letaknya agak jauh dari gedung tempat Ano mengajar namun tempatnya yang rindang membuat Ano selalu memarkirkan mobilnya di situ.
Langkah Ano terhenti saat matanya menangkap sosok yang belakangan ingin dihindarinya. Dia sedang duduk tak menunduk dengan tatapan datar. Kara seperti gadis rapuh. Rapuh? Hei ayolah gadis tidak berdisiplin itu hanya tak bisa masuk kelasnya semester ini, it's not the end of the world.
Dengan acuh Ano melanjutkan langkahnya. Gadis itu, Ano lewat di depan matanyapun dia tak menyadari. Ano teringat perkataan Zafran tadi, binar luka? Dih... Zafran sudah kelewat buta mungkin.
Tiba di parkiran Ano segera memasuki fortunernya. Setelah memasukkan kunci mobil Dia urung menyalakan mobilnya. Dengan tangan bertumpu pada kemudi Ano berpikir.
Tapi bagaimana kalau dia benar-benar terluka?
Bersambung
««»»Hayoo Kara punya luka, luka apa?
Zafran terlalu baper aja kali yaa
Hehehe
Penasaran?Ikuti kelanjutannya yaa.
-Pena Laut-««»»
YOU ARE READING
UKARA (Tamat)
General FictionFirst publish May 6, 2017 Bagi Hideaki, embun itu istimewa. Bagi Ano, biasa saja. Bagi Hideaki, Ukara itu kesayangan. Bagi Ano biasa saja. Sampai Ano menyesali semuanya. Sudah terlambatkah? Background credit to freepik