_
_Tempat Di Hatinya||
"Angkasa akan menikahi Tari." Kara bermonolog di hadapan cermin. Pashmina lebar berwarna cream membalut wajahnya.Tapi tak masalah, Angkasa sepertinya laki-laki yang sopan dan baik. Tidak seperti kakaknya yang sedikit arogan dan jutek. Sepertinya Kara hanya perlu mendekati Tante Ratu. Mencari dukungan kalau-kalau anak sulungnya mendepak Kara dari tempat tinggal Hide.
Sesungging senyum mengakhiri sesi bercermin pagi ini. Kalau boleh Kara berbagi kebahagiaan, Kara beri tahu, kalau hari ini Kara bahagia. Menjelang siang nanti Rindu, sahabatnya, akan berkunjung.
Dan kabar bahagia lainnya adalah hari ini pemilik Oceanost ke luar kota. Yeayy. Kara senang. Tak harus kucing-kucingan atau sembunyi di tempat Hide terus. Semalam ayahnya menginformasikan kalau Pak Anva ada tugas dari kampus.
Pagi ini, sebelum kedatangan Rindu, Kara ingin ke dapur. Mumpung belum banyak pegawai Oceanost yang datang. Kara ingin menemani ayahnya. Seperti biasa Hide sudah turun ke resto satu atau dua jam sebelum jam kerja pegawai Oceanost dimulai.
"Sedang sibuk, Yah?" Sebelum duduk di kitchen bar, Kara melempar senyum pada Gondo. Gondo yang sudah ada di pintu balas tersenyum. Dapur Oceanost terlihat habis dipel oleh Gondo.
"Tidak, Kara. Jam sibuk hanya pada jam-jam makan. Kamu sudah sarapan? Ayah buatkan ya." Hide sedang sibuk di depan kompor, hanya berbalik sesaat.
"Nggak usah, Yah. Tadi sudah makan roti." Kara kini duduk di kitchen bar. Matanya berkeliling mengagumi dapur Oceanost yang luas dan modern. Baru sekarang Kara agak leluasa memandangi dapur Oceanost. Dapur yang lengang membuatnya terlihat lebih jelas.
Dapur Oceanost terdiri dari dua bagian. Ada dapur yang khusus menyiapkan masakan Jepang. Ada dapur yang khusus menyiapkan masakan nusantara. Kedua dapur ini tanpa sekat. Kara bisa membayangkan crowded-nya dapur saat jam penuh pengunjung.
Puas memandang tiap sudut dapur Kara kini memandangi ayahnya. Dari tampak belakang Hide terlihat tidak kurus tapi tak terlampau gemuk juga. Tubuhnya bisa dikatakan tinggi besar. Sayangnya Kara tak mewarisi tubuh tingginya Hide. Jika bersandingan dengan ayahnya, Kara terlihat mungil. Kara lebih mirip Mira. Hide pernah memperlihatkan foto pernikahannya bersama Mira. Mira saat muda memang mirip Kara, wajar jika saat itu Hide bisa mengenali Kara.
"Yah, sedang bikin apa, sih?" Kara lama-lama tak sabar. Hide terlalu khusyuk di depan kompor.
"Ini, sarapan untuk Ano."
Kara melongo. "Kok, Ayah yang nyiapin sih," protes Kara tak terima. "Memangnya job desc head chef juga termasuk bikin sarapan untuk owner?"
Hide mematikan kompor. Menuangkan masakan pada mangkuk dan menyimpannya dalam nampan, bergabung dengan secangkir kopi hangat di situ. Setelah selesai, Hide sepenuhnya menghadap pada Kara yang sedang menautkan alisnya. "Bukan job desc, Kara, tapi rasa sayang. Ano sudah Ayah anggap sebagai sahabat, saudara, dan anak." Hide menutup kalimatnya dengan senyuman.
Kara mengangguk-angguk. Ternyata posisi Pak Anva spesial di hati ayahnya. Ah, ayolah, Kara tahu apa? Dia orang baru di hidup Hide. Tampaknya hanya Kara yang belum bisa memandang baik pada Pak Anva.
"Kamu mau ikut? Hari ini agenda Ayah belanja persediaan bahan-bahan. Kita ke Supermarket, pasar ikan, trus beli sayuran segar ke pasar tradisional."
Kedengarannya menyenangkan, tapi tidak sekarang. Kara masih ingin bersembunyi. Uhm ... bukan bersembunyi dari Pak Anva. Tapi ini bersembunyi dari Rey.
"Nggak, deh, Yah."
"Kalau ada apa-apa telpon Ayah, ya."
"Ayah sendirian?"
"Tidak, Gondo yang nanti menemani. Sepertinya dia sudah menunggu di parkiran. Ayah berangkat dulu, hati-hati ya. Assalamu'alaikum."
Kara menjawab salam sambil mencium punggung tangan Hide, dibalas Hide dengan elusan dipuncak kepala. Kara merentangkan tangan saat Hide sudah menghilang di balik pintu. Akhirnya Kara sendirian di Oceanost. Sekitar dua jam sebelum karyawan Oceanost lain berdatangan, enaknya ngapain, yaa?
Kara bertopang dagu, di sisi kanannya ada nampan dengan mangkuk dan cangkir yang mengepulkan asap. Kara tersenyum ini sarapan yang tadi ayahnya buat untuk Pak Anva, Hide memang rajin. Tapi manja amat sih sarapan aja pake dibuatin segala. Memerhatikan nampan, senyum kara mendadak susut.
Ya, ampun. Ini nggak bener!
Sarapan untuk Pak Anva! Berarti ada Pak Anva sekarang! Kara menggigit bibir. BAHAYA. Bukannya kata ayahnya, Pak Anva sedang keluar kota. Kok, ayahnya tidak mengatakan apa-apa. Bisa-bisa Kara terjebak kholwat kalau begini. Uh, harusnya Kara segera ngeuh tadi saat ayahnya bilang sedang memasakkan sarapan untuk Pak Anva. Bukannya protes mengenai job desc Head chef. Hu hu.
Agar tak terjebak kholwat Kara memutuskan berdiam di tempat Hide di lantai dua saja. Dia akan di kamarnya sampai ayahnya pulang. Apesnya belum sempat Kara beranjak, dari belakang terdengar suara derap sandal rumah.
"Gondo, kopinya mana?"
Jelas sekali, itu suara Pak Anva. Kara menunduk. Menahan napas. Takut jika suara napasnya membuat Pak Anva menyadari keberadaannya. Perlahan kara melirik ke samping. Pak Anva sudah duduk di kitchen bar di sisi dapur satunya. Rambutnya terlihat acak-acakan. Khas orang bangun tidur. Dari samping, muka bantalnya terlihat innocence.
"Gond ... Astaghfirullah ... kamu siapa?"
Duhh, ke-gap juga akhirnya.
Perlahan Kara mengangkat kepala.
"Uka ...! Ngapain kamu di sini?" Nada suara Pak Anva meninggi.
"Pak Anva, kok Pak Anva di sini, sih?" Kara cengengesan.
"Terserah saya, ini tempat saya."
Ya iyalah ini tempat Bapak, maksud saya kenapa Bapak nggak jadi keluar kota.
"Kamu menyusup ke sini?"
"Bukan ... bukan, saya putrinya Pak Hideaki, dia head chef di sini." Kara meralat panik. Penyusup? Duh kurang kerjaan amat.
"Kamu pakai trik berbohong seperti jam tangan dulu?" Pak Anva menaikkan alisnya, muka bantalnya yang innocence tadi lenyap sudah.
"Ya nggak lah, Pak. Saya benar-benar putrinya Hide, Pak."
Pak Anva tersenyum mencemooh. "Putrinya Hide itu bermata biru. Jangan coba-coba membohongi saya lagi, kamu."
"Ya sudah kalau Bapak nggak percaya." Kara turun dari kursi hendak pergi ke tempat Hide.
Pak Anva ikut turun, sedikit mendekat pada Kara. "Hei, mau ke mana kamu?"
"Ke kamar saya lah, Pak. Kalau tetap di sini kita bisa terjebak kholwat."
"Kamar kamu di mana?"
"Ya di tempat ayah saya. Lantai dua, di sayap kanan."
"Siapa yang membolehkan kamu ke tempat Hide? Kamu pikir saya percaya? Saya belum yakin kalau kamu bukan penyusup."
"Yah terus saya harus ke mana, dong, Pak.?
"Ya, pulang ke rumah kamu sana."
Kara membeliak dan bahunya merosot.
Bener, kan, diusir. Hiks.
Bersambung.
<<>>
Pak Anva memang ....
Oya, kalau-kalau belum ada yang tahu. Ukara Dalam bahasa Jepang artinya embun.
<<>>
YOU ARE READING
UKARA (Tamat)
General FictionFirst publish May 6, 2017 Bagi Hideaki, embun itu istimewa. Bagi Ano, biasa saja. Bagi Hideaki, Ukara itu kesayangan. Bagi Ano biasa saja. Sampai Ano menyesali semuanya. Sudah terlambatkah? Background credit to freepik