Abu-abu ||
Kara pulang dengan lemas. Dia belum siap bertemu siapapun, masuk lewat dapur adalah pilihan tepat. Bagusnya tak ada Mbak Padmi, Kara bisa dengan leluasa mengambil es batu untuk mengompres pipinya. Setelahnya, dengan senyap Kara naik ke kamarnya.
Kara segera masuk kamar mandi, setelah bersih-bersih Kara berwudhu. Sholat Isya sudah dia laksanakan tadi sebelum berangkat, saat ini dia bersuci ingin sujud syukur. Di atas sajadah Kara ucapkan kalimat dzikir, bersyukur sebanyak mungkin. Bersyukur atas penjagaan Allah atasnya.
Kara bergidik ngeri, Rey semakin nekat, semoga setelah malam ini Rey akan marah dan membatalkan perjodohannya. Di atas sajadah pula Kara bersimpuh, merenungi semuanya. Kara juga merenungi mimpinya, sepertinya tak kan terwujud jika Kara tak berupaya dari sekarang. Menunggu punya uang banyak hanya akan membiarkan dirinya kembali terjebak dengan Rey.
Hanya saja terselip juga keraguan. Akankah mimpinya terwujud? Bagaimana jika Kara sudah dekat dengan mimpinya Dia harus dihadapkan pada kenyataan jika yang dikejarnya hanyalah pepesan kosong.
Kara memegangi pipi kirinya, agak berjengit ketika Kara menempelkan handuk kecil berisi es batu . Entah sekeras apa pukulan Rey tadi, karena sampai saat ini pipinya kaku dan nyeri. Apa yang terjadi malam ini memberikan alarm waspada terhadap Rey. Dia berani berbuat nekat, besok-besok bisa jadi akan lebih parah.
Alhamdulillah tadi ada Pak Anva, meskipun Kara malu. Malu karena waktu itu pernah menangis di depan Pak Anva. Kenapa dia bisa kelepasan curcol, curcol minus simpati karena Pak Anva hanya menanggapi dengan mencemooh. Malu juga karena harus kepergok bersama Rey yang menamparnya.
Aarrghh sudahlah, Kara tak ingin memikirkan dosen galak itu. Mau tak mau malam ini Kara akan begadang mengerjakan tugas darinya. Semoga dengan begitu Kara bisa melupakan kejadian malam ini.
"Kak, sudah tidur?" Tari masuk dengan ragu lalu duduk di sisi tempat tidur.
Kara segera menyembunyikan handuk berisi es ke kolong tempat tidurnya. Melepas dan melipat mukena sambil tersenyum menyambut Tari. "Belum Ri."
"Kakak kenapa?" Menyadari lebam pada pipi Kara, Tari refleks mengulurkan tangan hendak menyentuh pipi Kara. Kara menghindar.
Kara menimbang sejenak, Tari tak perlu tahu perihal apa yang menimpanya.
"Nggak apa-apa, kecelakaan kecil."
"Hati-hati Kak, sudah besar masih ceroboh aja."
"Iya Ri cerewet, semoga ga terjadi lagi." Ya, semoga ini yang terakhir bagi Kara.
Tari tersenyum geli. Sejenak dia terdiam. "Uhm Kak... besok lusa keluarga Mas Ano mau kesini lagi."
Kara kini berguling di atas kasur. Tengkurap dengan bertopang dagu, memandang teduh pada Tari . "Baguslah, berarti hubungan kalian tinggal diresmikan. Kakak nggak sabar pengin gendong keponakan."
"Ihh, Kakak ini apa sih." Tari mencebik, tersenyum tersipu. "Ehm... Kak, besok lusa Kakak ikut gabung ya."
Kara terdiam, dia tak pernah nyaman dengan pertemuan antar keluarga, arisan keluarga, atau apapun bentuknya. Kalau sudah melibatkan keluarga besar Kara enggan. Mungkin karena Kara tak nyaman dengan keramaian. Atau Kara tak nyaman kalau dibanding-bandingkan.
ESTÁS LEYENDO
UKARA (Tamat)
Ficción GeneralFirst publish May 6, 2017 Bagi Hideaki, embun itu istimewa. Bagi Ano, biasa saja. Bagi Hideaki, Ukara itu kesayangan. Bagi Ano biasa saja. Sampai Ano menyesali semuanya. Sudah terlambatkah? Background credit to freepik