Samsak ||
Ano mengemudikan fortunernya dengan sabar. Baru saja ada motor yang menyalip hampir bersenggolan dengan bemper depan mobilnya. Refleks Ano mengerem, menghindarkan gesekan. Di tengah hiruk pikuk jalan raya pada jam pulang kantor seperti ini memang dituntut harus ada yang waras. Tak mengedepankan emosi saat tiap orang merasa harus segera tiba di rumah. Setelah lampu merah, harusnya Ano berbelok ke kanan ke arah rumah orang tuanya, tapi saat ini ada rumah lain yang hendak Ano tuju. Ano akan ke rumah Tari.
Tak ada rasa berbunga-bunga atau dag dig dug, selayaknya seorang laki-laki yang akan mengunjungi rumah calon mertuanya. Ano hanya semakin merasa bersalah. Kian hari dia kian merasa bahwa yang dijalaninya adalah salah. Ibunyalah yang memaksa Ano berkunjung ke rumah Tari. Oleh-oleh dari Labuan Bajo yang terbungkus rapi dalam paper bag harus segera sampai pada Keluarga Sanjaya.
Lepas dari kemacetan mengular, Ano mengarah ke jalan yang akan mengantarkannya ke area komplek rumah Pak Sanjaya. Saat tiba tepat di depan rumah Ano disambut ramah oleh Satpam. Sepertinya bukan hanya Ano yang menjadi tamu di rumah ini. Sebuah BMW hitam terparkir bersebelahan dengan Ano memarkirkan mobilnya.
Setelah memastikan dua buah paper bag tidak tertinggal di kursi penumpang, Ano turun dan mengunci mobilnya dengan kunci alarm. Langkahnya yang hampir mendekati teras rumah terhenti saat di hadapannya seorang yang cukup lekat diingatannya berjalan tergesa dengan wajah penuh amarah. Tentu saja lekat diingatan karena Ano pernah melayangkan bogem cukup keras padanya. Ano ingat dia sebagai calon dari Ukara.
Entah saking emosinya, entah dia terburu-buru, laki-laki itu hanya lewat begitu saja. Setelahnya Ano hanya mendengar deru mobil yang di gas berlebih dengan ban yang berdecit. Laki-laki itu tak menyadari keberadaan Ano yang berpapasan dengannya. Ano hanya geleng-geleng kepala, sudah berbuat kekerasan masih punya muka dia datang ke sini.
Kedatangan Ano disambut oleh ART keluarga Sanjaya yang Ano tahu bernama Mbak Padmi.
"Silakan duduk Pak. Saya panggil Bapak dulu," ucap Mbak Padmi ramah.
Ano menjawab dengan tersenyum dan mengangguk. Tadi Mbak Padmi mengarahkan Ano ke ruang tengah melewati ruang tamu di bagian depan. Mungkin di sinilah tempat Pak Sanjaya menerima tamunya. Ano mengecek ponselnya, kalau-kalau ada chat yang masuk. Namun nihil, semenjak terakhir tadi Ano membuka ponsel di satu jam yang lalu tak ada lagi chat yang masuk.
Suara pintu yang terbuka dan langkah kaki mengalihkan Ano dari ponselnya. Saat mengangkat kepala, terlihat mahasiswi yang belakangan hadir di hidupnya dengan drama-dramanya. Ukara terlihat terkejut mendapati Ano ada di ruang tengah. Wajah Ukara muram dan matanya basah. Ah tak heran gadis ini selalu hadir dengan drama bukan.
Ukara tak mengucap sepatah katapun, dia segera berlalu, menaiki anak tangga dengan cepat. Ano menghela napas, teringat penolakan Ukara pada Zafran. Walau selalu penuh drama setidaknya Ukara tak seburuk dirinya yang bertahan dengan hubungan yang berpotensi menyakiti calonnya. Ukara punya sikap meski bisa jadi dia yang akan menjadi pihak yang dirugikan.
"Nak Ano, sudah lama?" Pak Sanjaya keluar dari ruangan yang sama dengan Ukara tadi. Walau nampak tegang raut Pak Sanjaya lebih tenang.
"Baru Pak, ini ada sedikit oleh-oleh. Kemarin saya dari luar kota." Ano menyerahkan dua paper bag yang segera diterima Pak Sanjaya.
Tak begitu antusias dengan buah tangan yang Ano bawa, Pak Sanjaya segera meletakkan paper bag itu di atas kursi dan turut bergabung dengan Ano yang duduk di sofa panjang.
"Nak Ano, boleh Bapak tanya sesuatu?"
Ano mengangguk tersenyum tanda respect.
"Saya hanya memikirkan usia Nak Ano yang sudah di akhir 20-an. Kira-kira kapan Nak Ano bisa menentukan tanggal untuk segera meresmikan hubungan dengan Tari."
YOU ARE READING
UKARA (Tamat)
General FictionFirst publish May 6, 2017 Bagi Hideaki, embun itu istimewa. Bagi Ano, biasa saja. Bagi Hideaki, Ukara itu kesayangan. Bagi Ano biasa saja. Sampai Ano menyesali semuanya. Sudah terlambatkah? Background credit to freepik