Bab 5

216 22 5
                                    

Suasana malam yang sungguh terasa kosong di kediaman keluarga Pak Vano, Hanum tengah menyibukkan diri mengaduk sayuran di atas kompor. Setelah matang, wanita itu mematikan api dan memindahkan masakannya ke dalam mangkuk.

"Kamu masak apa?"

Hanum tersentak kaget kala sang suami menampakkan wujudnya di pintu dapur. "Ih, kamu ini bikin aku kaget, untung nggak tumpah ini sayur sop!"

Dengan mata teduhnya ia berjalan mendekati Hanum, membantu membawa masakan ke atas meja. Dirasa semua makanan sudah tertata rapi dan cukup, Vano langsung saja duduk di meja makan.

"Perutku sudah keroncongan. Ayo, panggil Ardhan makan," ujarnya sambil menatap istrinya.

Hanum terdiam, rasanya sedikit perih kala sang suami hanya menyeru untuk memanggil seorang anak saja, "Aku panggilkan anak-anak dulu, Mas."

Vano menghela napas kasar melihat punggung Hanum menjauh. Ia berharap makan malam kali ini tidak suram seperti yang sudah-sudah.

Tak lama Hanum kembali mendekati meja makan, duduk tepat di sebelah suaminya. Dengan rutin ia menghidangkan piring, nasi, dan lauk pauk yang diutamakan istri untuk seorang suaminya.

Terdengar suara langkah kaki, pandangan mereka beralih pada putra bungsu yang selalu memasang wajah datar. Ardhan melirik papanya sekilas dan berganti kepada mamanya. "Mama nggak manggil Mas Gara juga?"

Hanum hanya bisa tersenyum kecut mendengar pertanyaan Ardhan, "Mama sudah panggil, tapi tetap saja Masmu itu tidak mau makan bersama kita, sayang."

Ardhan tertawa sinis, "Ya iyalah Mas Gara nggak mau, anak mana yang kuat kalau papanya aja nggak anggep dia berguna?"

Perempuan paruh baya itu segera menghampiri Ardhan, takut terjadi keributan yang hampir setiap hari menghiasi rumah besarnya. "Ardhan, sudah, nak, mama mau kamunya makan bukan ribut dengan papamu," dielusnya pundak Ardhan lembut.

Mengikuti perintah mamanya, pemuda itu menarik kursi dengan malas. Tidak ada selera makannya sama sekali, Ardhan hanya melamun.

"Dimakan dong, sayang, jangan melamun gitu nggak baik," sahutan sang mama membuat ia tersadar.

Vano berdeham, "Gimana sekolah kamu, Ardhan?"

"Biasa aja," jawab Ardhan cuek, menyendok nasi dengan terpaksa. Papanya mulai berbasa-basi menanyakan sekolah sebagai kalimat pembuka.

"Papa mau kamu tiga hari lagi ikut papa mel--"

"Nggak. Tiga hari lagi Ardhan ikut camping." Potongnya cepat. Ardhan sudah tebak, mukadimahnya saja yang terkesan peduli.

"Ayo lah, Ardhan, sekali saja kamu turuti kemauan Papa.."

"Ardhan nggak mau, Pa. Apa salahnya papa ajak Mas Gara, dia punya mimpi yang sama kayak Papa--" belum sempat Ardhan menyesaikan ucapannya, Vano balas memotongnya.

"Anak itu nggak bisa..." kata-kata pria itu tertelan, tersadar kata-katanya bukan menambah kelunakan situasi.

"Nggak bisa apa, Pa? Papa ngeremehin Mas Gara?"

Hanum memijat kepalanya, suasana seperti ini lagi. Semakin lama suara suami dan anaknya semakin naik. Keributan tidak pernah usai, bahkan yang dipermasalahkan selalu berputar pada satu topik. Hanum sendiri bingung, Ardhan dan Vano itu sama-sama keras kepala. Ia hanya bisa diam, tidak berani memihak salah satu di antara keduanya. Khawatir membuat kericuhan terasa memuncak.

"Ardhan mau kemana kamu? Papa belum selesai bicara!"

Lelaki itu tak peduli, berjalan menjauh meninggalkan meja makan. Bahkan nasi beserta lauk pauknya hanya berubah tempat, tidak sempat singgah di mulut.

Sebersit Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang