Bab 8

177 20 6
                                    

Langit telah gelap, suara jangkrik mulai menghiasi malam. Fahira duduk di pembatasan antara sungai dan tepian. Gadis itu suka sekali suasana gelita. Hening dan menenangkan hati. Apalagi ditambah desiran air yang berbunyi tertatur. 

Apa bener Bang Ardhan udah punya pacar? Kalau dia udah ada yang punya aku nggak boleh suka lagi sama dia. Nggak boleh. Aku harus lupain dia

Dia duduk sendirian. Teman-temannya menawarkan diri untuk ikut tetapi Fahira menolaknya. Perempuan yang memakai jaket pink itu sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sampai ia tidak menyadari jika dirinya dihampiri seseorang yang bertugas mengawasi semua orang agar tidak ada lagi yang keluar dari tenda.

"Malam gini masih keluyuran sendirian. Kembali ke tenda!" Suara berat itu menginterupsi keheningan Fahira.

"Bentaran doang, lagi serius merenung ini," tanpa melihat ke belakang Fahira menjawab orang itu.

Dahi pemuda itu mengernyit, terheran dengan ucapan gadis yang membelakanginya. Ia mengarahkan senternya untuk memperjelas yang dilihatnya itu manusia atau bukan. "Udah malem. Nanti gue ditegur sama guru. Mikirin apa sih, lo?"

"Mikirin Bang A--" kata-kata Fahira terhenti sebab matanya menangkap dia yang dipikirkannya- ada di belakangnya, "hmm... itu, abang gue. Ha iya, gue lagi mikirin abang gue di rumah." Sial. Fahira gelagapan.

Ardhan pun sama kagetnya. Mengapa lokasi kemah terasa sempit sekali sampai dia harus bertemu dengan gadis ini?

Ardhan menatap Fahira datar, "Balik ke tenda." Namun Fahira tidak menjawab. Saking gugupnya ia tidak tahu harus berkata apa, "lo denger gue, nggak?"

Fahira tersentak, "Iya, Bang," cicitnya agak takut dengan wajah Ardhan yang tidak bersahabat, "saya balik, permisi..." Fahira berdiri setelah mengatakan itu, ia berjalan sambil menunduk.

Sadar dengan suaranya yang sedikit menggertak, Ardhan jadi merasa bersalah, "Tunggu!" Ardhan mengumpat dalam hati. Harusnya dia mengatakan 'iya' bukan menghentikan langkah gadis itu balik menuju tendanya.

Fahira tidak salah dengar, kah? Ardhan menyuruhnya berhenti tepat di sampingnya. Fahira memberanikan diri melihat cowok itu, "Ada apa, Bang?"

Ardhan langsung memandang objek lain, menghindari kontak mata dengan Fahira, "Lo kenapa? Mikirin gue?"

Mata Fahira otomatis mengerjap-ngerjap. Dirinya semakin grogi atas pertanyaan Ardhan. "Enggak kok, bukan," ia menggelengkan kepalanya.

Melihat gadis di depannya ini tidak berani menatapnya, Ardhan jadi semakin ingin mengerjainya. Lucu saja melihatnya grogi seperti ini, "Selagi gue ada di deket lo sekarang, tanya apapun yang ingin lo tanyakan."

Fahira kaget, wajahnya terlihat cengo. Sesaat ia tersadar dan berdeham canggung. Tidak. Fahira tidak boleh bersikap bodoh di depan cowok ini, seperti yang Acha bilang siang tadi.

Ardhan menghela napas kasar, gadis ini tetap saja tak ingin bicara. Koordinator OSIS itu melangkah ke depan lalu duduk di tempat Fahira sebelumnya, "Sini," serunya.

Fahira benar-benar tidak percaya dengan apa yang dialaminya sekarang. Ragu-ragu ia mendekat, ikut duduk di sebelah pemuda itu. Jantungnya berdebar-debar, ada di dekat Ardhan terasa seperti mimpi baginya. Berada di samping lelaki ini selain berfoto merupakan hal pertama terjadi.

"Aku boleh nanya?" Ujar Fahira.

"Hm. Bukannya dari tadi gue suruh?" Jawab Ardhan jengkel.

"Abang pacaran sama Kak Riana?" Tanya Fahira cepat, langsung, dan tidak terhambat.

Ardhan yang semula tampak santai menjadi mematung. Keheningan sejenak menemani mereka, hingga pada saat Ardhan membuka mulut, "Nggak."

Fahira menoleh seraya tersenyum. Tidak sadar bahwa senyumnya terlalu lama diperlihatkan pada pemuda itu.

***

"Ready to hiking!" Sorak Acha riang. Gadis itu mengacungkan sisir yang tengah dipakainya.

Pagi ini, kegiatan selanjutnya adalah hiking. Ada tiga wilayah yang akan mereka telusuri. Dimulai dari kelas paling rendah. Semua orang berbekal dengan botol minum, menghindari dahaga di tengah-tengah perjalanan. Kelas Fahira masih menunggu giliran jalan. Kelompok mereka kini sedang duduk membentuk lingkaran.

Melihat Fahira yang sedari tadi senyum-senyum, Acha menyikut badan Nazwa, memberi kode gadis berkerudung itu agar melirik Fahira, "Tu bocah kenapa senyum mulu?" bisiknya.

Nazwa mengikuti iris mata Acha, "Kamu lagi bahagia ya, Fah?" Tanya Nazwa langsung pada subjek pencuri atensi itu.

Yang ditanya malah semakin melebarkan senyumnya hingga giginya terlihat, "Tadi malam aku ngomong sama Bang Ardhan di taman deket sungai, berdua."

Keempat manusia yang sama-sama mendengarkan tampak syok. Sesaat mereka terdiam sampai pada akhirnya berteriak.

"APAAA???"

Fahira meringis, suara teman-temannya memang tidak bisa diajak kompromi. Untung saja semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing, mereka tidak menjadi bahan perhatian lagi seperti kemarin.

"Nggak mungkin, lo pasti mimpi, deh," cetus Acha mengungkapkan ketidakpercayaannya.

"Tapi, kan, Fahira emang pergi tadi malam cari angin. Mungkin Bang Ardhan lagi jurit malam trus ngira si Fahira hantu, makanya mereka ketemu. Bisa jadi tau!" Timpal Tiara.

"Huaa... cobat gue udah naik level," seru Mila sambil merentangkan tangannya hendak memeluk Fahira.

"Eh, itu giliran kita," sambung Nazwa memutus topik. Gadis dengan pasmina mint itu berdiri, disusul yang lain.

Tempat pertama yang akan dijelajahi ialah sungai. Mereka harus menyebrangi area sungai dangkal yang berbatu-batu. Agar tidak ingin sepatunya basah, Fahira melepasnya terlebih dahulu. Memasukkan benda itu ke dalam tas kemudian mulai memijak batu.

"Hati-hati, ya, ntar kepleset, batunya ada yang licin," sahut seorang cowok paling depan. Tak lupa beberapa orang membalas ucapannya.

Rio berada di depan Fahira, membantu gadis itu agar tidak kesusahan melewati satu batu ke batu yang lain. Saat Fahira ingin melangkah ke batu yang berjarak agak jauh, Rio mengulurkan tangannya. Ia tersenyum meyakinkan Fahira yang ragu.

Disambutnya tangan Rio, sehingga Fahira dapat berpindah ke batu di depannya, "Thanks, Yo," ujarnya setelah Rio menuntunnya sampai ujung sungai.

"Iya," cowok itu tersenyum lagi padanya.

Wilayah kedua ini, mereka dihadapkan pada pepohonan yang menjulang tinggi dengan kemiringan empat puluh derajat. Laki-laki diinstruksi pengawas untuk naik duluan agar bisa memegang tali bagi yang lain yang berada di bawah. Satu per satu perempuan dibantu oleh pengikat tersebut sampai ke atas, walau ada yang nekat sendiri dengan modal berpegangan pada pohon. Tidak sabaran menunggu antrean, sepertinya.

Setelah semuanya sampai ke atas, mereka beristirahat sejenak. Ada yang minum dan ada juga yang berfoto-foto. Tak lebih Acha yang sempat-sempatnya siaran langsung, menyapa penggemar-penggemarnya yang harus tahu kegiatannnya, katanya. Cewek itu mengarahkan ponselnya pada Nazwa, Tiara, Mila, dan Fahira. Hal wajib yang dilakukan saat tengah berkumpul menghadap kamera.

"Acha jomblo sekarang?" Acha membaca salah satu ketikan pengikutnya. Gadis itu terkekeh kecil sebelum menjawab, "Acha jomblo tapi Acha lagi ngedeketin orang yang susah buat ditaklukan. Ini challenging banget, sih, buat Acha. Doain, ya."

"Lo lagi ngedeketin orang? Kok nggak cerita sama kita?" Serang Fahira dengan pertanyaan.

Gadis yang memakai topi bucket itu meletakkan kembali ponselnya setelah selesai dengan segala urusan sosial media. Ia tersenyum penuh misteri pada keempat temannya, "Rahasia, dong. Nanti gue kasih tau, sekarang gue lagi fokus untuk itu."

Keempat perempuan itu memutar bola matanya. Tidak ingin melanjutnya obrolan lagi.

Satria si ketua kelas berdiri, membuat seluruh mata memerhatikannya, "Temen-temen, pengawas di posko tiga udah ngebolehin kita lanjut. Kali ini kita lebih ekstra hati-hati. Oleng banyak, lo pada bakal masuk jurang!"



Sebersit Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang