Bab 36

161 14 6
                                    

Melaju di atas kecepatan 100 km/jam, yang Ardhan pikirkan hanyalah bertemu dengan Raska. Ardhan tidak mengerti kenapa hatinya tak tenang saat ini. Berbagai upaya untuk menenangkan diri sendiri, tetapi nihil.

Raska berdiri di belakang pagar seraya mondar-mandir, antisipasi barangkali sang adik sedang menuju ke rumah. Raut wajah Raska tampak cemas, berkali-kali mendekatkan ponsel ke telinga lalu berujung berdecak.

Motor Ardhan berhenti, ia membuka helmnya. "Udah ada kabar, Bang?" tanyanya langsung.

"Belum, udah lima puluh kali ditelfon tapi nggak dijawab sama sekali," jawab Raska frustrasi.

"Biasanya dia ke mana? Ada tempat yang kira-kira bisa kita cari sama-sama?"

Raska menghela napas kasar. "Gue nggak tau. Ada satu temennya namanya Acha. Acha ini nggak bisa dihubungin, lagi take off mau ke New York."

Ardhan mengerutkan alisnya. "Ikut Acha mungkin?" tebaknya, tetapi yakin ucapannya berdasar keraguan.

"Nggak mungkinlah, Dhan. Pasti Acha bilang ke gue." Napas Raska terengah-engah.

"Sekarang lo ambil motor, gih, kita cari barengan. Mencar biar cepet dapet," titah Ardhan.

Raska mengangguk, hendak berbalik ke halaman rumahnya. Dentingan ponsel menggantungkan gerakannya. "Eh, bentar, ini ada chat dari adek gue."

Bang, jangan khawatir
Gue aman kok di sini
Lg nemenin temen
dia ada masalah
Gue gak pulang beberapa hari

Setelah membaca pesan dari Fahira, Raska mengembuskan napas lega. Setidaknya adiknya baik-baik saja dan mengabarinya, itu yang Raska tunggu sedari tadi.

"Kenapa, Bang?" satu alis Ardhan terangkat.

"Si Fahira lagi di rumah temennya. Okelah, Dhan, dia udah ngabarin gue aja udah cukup bikin gue tenang. Makasih, ya, udah ngerepotin lo." Bahu Ardhan ditepuk pelan oleh Raska.

Dengan pikiran yang masih bingung, Ardhan mengangguk, "Sama-sama, Bang."

"Lo mau masuk dulu?" tawarnya dengan menunjuk rumahnya.

"Nggak, deh, udah malem, gue pulang aja," balas Ardhan.

Setelah memastikan badan Raska tidak terlihat, Ardhan masih setia di tepi jalan rumah pria itu. Keningnya mengernyit lantaran merasa ada yang janggal. Ardhan mengambil ponselnya di dalam kantong jaket, menelepon gadis yang sekarang memenuhi kepalanya. Tersambung, dan ditolak.

Reject? Ardhan yakin jika gadis itu dihubungi dahulu oleh Ardhan, pasti dia senang bukan kepalang. Tidak mungkin Fahira menolak mentah-mentah panggilan dari Ardhan. Semuanya menjadi benar-benar terasa ganjil.

Ardhan memukul bagian depan motornya, "Kenapa lo bikin gue sekhawatir ini, Fahira?!"

***

Kurang dari dua puluh empat jam, gadis bernama Fahira berhasil membuat pikiran Ardhan melayang tidak terarah pada pijakannya. Ardhan minim pengetahuan tentang hidup Fahira, hal yang jadi penyebab kebingungan Ardhan dalam pencariannya.

Sengaja lewat di depan kelas gadis itu pun, Ardhan tidak menemukan wajahnya. Melongok ke pintu kelas Fahira hingga timbul tatapan bertanya warga adik kelas yang lain padanya, Ardhan acuh saja. Yang terpenting dapat menetapkan jika Fahira tidak datang ke sekolah hari ini.

"Kayanya Bang Ardhan tau Fahira nggak pulang ke rumah," sahut Mila pelan.

"Fahira di mana, ya? Nggak mungkin dibawa lari om-om angkot, kan?" celetuk Tiara dengan wajah penuh kecemasan.

Sebersit Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang