Bab 33

146 14 2
                                    

Sudah seminggu sejak kepergian Satria, menyisakan nama yang tak akan pernah dilupa. Menghadirkan kenangan yang selalu singgah di setiap muara. Satria, teman mereka, pasti tenang di alam sana.

Kepergian Satria menaikkan Rio menjadi ketua kelas. Jabatan OSIS almarhum yang tinggal beberapa bulan pun dibiarkan kosong hingga seleksi anggota baru diadakan.

Keadaan Mila mulai membaik. Dibantu teman-teman ia bangkit dari kesedihan. Menguatkan di sisi yang berbeda-beda. Sampai pada Mila bisa tersenyum ceria, pulih sedikit demi sedikit mulut pedasnya.

"Hari ini jadi, kan?" Mila menatap satu per satu temannya.

"Tapi gue nggak bisa lama. Hari ini mau cek busana bareng mami," jawab Acha dengan sorot mata tidak enak. Jauh dari pernyataan, sebenarnya ragu bisa atau tidaknya.

"Acha mau ke mana?" Tanya Fahira, alisnya mengedut.

Acha menjawab detail, mengenai ikut maminya menghadiri fashion show di New York lusa ini. Kata mami, supaya Acha bisa belajar, menambah pengalamannya di dunia permodelan. Acha mengiyakan saja. Hidupnya yang serba berkecukupan, ia sendiri masih bingung ingin menjadi apa kelak di masa depan.

Mengikuti maminya yang seorang model? Tidak, Acha tidak berminat. Atau menapaki dunia perfilman seperti papinya? Tidak juga, Acha tidak suka jadi sorotan kamera. Ia memang gemar mencari berita maupun gosip-gosip hangat, tapi dibalik itu Acha tidak pernah ingin diberitakan media. Rumor yang menyebar tentang dirinya, sudah cukup membuat Acha sengsara, depresi, dan ia tidak akan pernah mengulangi hal yang sama.

"Senin, kan, ujian, Cha," ujar Tiara, barang tahu Acha lupa dengan kegiatan sekolahnya.

"Kan, gue cuma tiga hari perginya, Tiara," jawab Acha gemulai.

Tiara yang baru menyadari, menepuk jidatnya sambil cengegesan.

Sesuai dengan ucapan Mila, pulang sekolah ini mereka akan pergi ke Pemakaman Mawar Putih. Mengingat sudah tujuh hari kepergian Satria.

Mila ikhlas, jika hanya sampai di sini Satria meminta hidupnya pada Tuhan, Mila tidak bisa menentang takdir itu. Ada atau tidaknya Satria di sekitarnya, Mila harus terbiasa dengan kehampaan, tanpa raga Satria, tanpa lelucon dan gaya tengilnya. Satu hal yang tidak akan pernah terlupa, Satria pergi dengan keadaan membawa rasa cintanya untuk Mila.

Mobil merah mengilat berhenti di parkiran pemakaman. Sebelum memasuki area nisan, mereka mampir sebentar membeli bunga. Setelah membayar, lalu lanjut berjalan. Tiba-tiba ponsel Acha berbunyi, menghentikan sejenak langkah kaki.

Acha tidak banyak menjawab, hanya berkata, "Iya, Mi, sekarang Acha pulang," seusainya, ia memandangi teman-temannya sendu.

"Acha pulang aja, nggak pa-pa. Kita bisa pulang pake angkot, ojek, taksi, ojol, atau yang lain," sahut Nazwa, jari-jarinya bergerak memperagakan jumlah kendaraan yang disebutnya.

"Gue nggak masuk ke dalem, deh, biasalah," lontar Fahira, "gue tunggu di sini aja."

"Bener, ya? Acha pulang, nih," ucap Acha sekali lagi, merasa keberatan meninggalkan teman-temannya kala memikir bagaimana mereka nanti setelah Acha buru-buru pulang.

"Iya, Acha," mereka mengangguk-angguk, seperti mengatakan tidak masalah akan hal itu.

"Ya, udah," Acha menipiskan bibirnya, matanya tak sengaja menemukan figur laki-laki keluar dari gerbang pemakaman. "Eh, itu bukannya Bang Ardhan, ya?"

Sama-sama menoleh ke satu arah, lima pasang mata bertatapan dengan sepasang indra penglihatan pemuda itu. Acha menyeringai, menarik tangan siapa saja yang ada di sebelahnya. Otomatis semuanya mengekori.

Sebersit Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang