Bab 38

311 15 11
                                    

Mata Gleya membulat, badannya gemetar. Dalam keadaan seperti ini, dia sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Sementara itu, dua orang bertubuh besar tadi sudah masuk ke dalam rumahnya untuk melarikan diri.

Kedua kakinya berjalan gontai ke arah Gara, sambil berurai air mata. Menumpukan lututnya ke lantai, Gleya menggenggam kedua tangan Gara, ditonton banyak pasang mata.

"Aku nggak sengaja nabrak dia, Gar, aku nggak sengaja. Tolong aku, Gara ... kamu mau, kan, nolongin aku?"

"Kalau nyulik dan siksa Fahira ... kamu nggak sengaja juga?" Tanya Gara tajam, melepas paksa tangannya dari genggaman itu.

Sepasang suami istri memasuki pintu samping, bersamaan dengan dua orang polisi. Satunya masuk ke dalam rumah mencari tersangka yang melarikan diri.

"Tangkap dia, Pak! Dia sudah membunuh anak saya," ucap wanita yang berada dalam pelukan suaminya, ibu dari Satria.

"Enggak! Lepasin gue! Gue nggak salah, gue nggak sengaja!" Teriak Gleya, "Gara, kamu tega sama aku, Gar!" Raungnya ketika polisi berhasil memborgol tangannya.

Gara mengangkat wajahnya, "Aku nggak nyangka. Di saat aku lagi terpuruk, kamu pergi dan mengemis cinta Ardhan. Kamu sejahat itu sama aku, Le, aku nggak kenal kamu."

Gleya menggeleng keras seraya memberontak, berharap polisi mau melepaskannya. Ia memekik histeris saat dituntun mengikuti langkah polisi. Tubuh mereka menghilang, bersamaan dengan suara mobil polisi yang tidak lagi terdengar.

Sementara di tempatnya berdiri, Riana hanya bisa membatu melihat Ardhan berjuang menyadarkan Fahira. Gadis itu masih pingsan, berulang kali Ardhan menumpu kedua tangannya di tengah dada lalu menekan, tidak ada reaksi apapun diberikan Fahira.

Ardhan menempelkan dua jarinya ke leher Fahira, lalu beralih ke tangan mengecek nadinya. Erangan frustasi keluar dari mulut Ardhan, tanpa pikir panjang dia mengapit hidung Fahira dan mengangkat dagunya.

Riana kontan menutup matanya, tak kuat melihat Ardhan memberi napas buatan pada Fahira. Hatinya tertancap belati, Fahira selalu saja mendapatkan suatu hal lebih dahulu dari dirinya. Mulai dari pelukan ... dan sekarang hingga ciuman.

Fahira batuk-batuk lemah memuncratkan air, napasnya tidak beraturan. Untuk membuka sempurna matanya saja ia masih kesulitan. Di tengah-tengah kesadarannya, ia merasa badannya dipeluk, dan seperti nyata. Ardhan merengkuh tubuh ringkihnya sembari mengusap pelan kepalanya.

Nazwa, Mila, dan Tiara mendekat dengan wajah panik. Mata mereka membulat melihat tambahan keadaan yang dialami Fahira.

Ardhan tersentak, hidung Fahira mengeluarkan darah. Napasnya semakin sesak, menambah buncahan cemas dari diri Ardhan. Detik berikutnya, Ardhan menggendongnya, membawanya keluar dari tempat terkutuk itu, melarikannya ke rumah sakit.

Dengan sigap Haris memberikan kunci mobilnya, membiarkan Ardhan menggunakannya saat ini. Meninggalkan beberapa manusia yang masih setia berdiam diri di kediaman Gleya.

***

Masing-masing mengerti, rasa takut Ardhan kali ini bukan hanya sebagai kemanusiaan biasa. Sisi berbeda di diri Ardhan ia perlihatkan saat Fahira celaka. Ardhan tidak pernah secemas itu.

Ditambah riwayat penyakit alergi dingin yang ia derita, kini kondisi Fahira mulai membaik, sudah dipindahkan ke ruang rawat. Namun, belum kian sadar. Raska sangat terkejut diberitahukan keadaan adiknya. Dia akan menyusul setelah jam pulang kantor.

Di sini Ardhan sekarang, mengamati wajah pucat gadis kecil yang merombak ulang hatinya. Fahira terlihat tenang, seketika Ardhan rindu dengan tatapan sengit menggemaskan miliknya, dan jawaban judes berbau gengsi cewek itu. Kini Fahira hanya diam, dan Ardhan tidak menyukainya.

Sebersit Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang