Pacaran itu ternyata tidak mudah. Kebanyakan yang dilihatkan pada orang lain hanya luarannya saja, belum tahu di dalamnya seperti apa. Uwu-uwuan tampak menggemaskan, tapi bukan sekadar tentang itu melulu. Untuk hal-hal sepele pun berujung menjadi masalah berkepanjangan.
Berteman biasa, tidak hadir perkara seperti ini yang pernah terjadi di antara Ardhan dan Riana. Tidak ada persoalan yang harus dipikirkan terlalu dalam. Riana seakan berubah menjadi orang yang memiliki peran penting di hidupnya. Ardhan juga bingung bagaimana semestinya bersikap.
Beberapa menit selepas Ardhan sampai ke bangkunya, Riana masuk dengan raut muka bersalah. Gadis itu tidak lepas memandangi Ardhan hingga tiba di meja kursinya sendiri. Ardhan yakin Riana menyadari kesalahannya. Ia lega, setidaknya tidak susah membuat Riana mengerti.
"Maafin aku, aku salah," sahutnya pelan ketika mendekati Ardhan.
Sebisanya Ardhan tersenyum tipis, "Nggak usah gitu mukanya. Yang penting jangan marah-marah lagi, ya?" Diacak-acaknya pucuk rambut Riana dengan gemas.
"Ih, nanti berantakan, Ardhan!" Sebalnya sambil merapikan kembali rambutnya agar rapi.
"Nah, gini dong, kan, gemes. Nggak galak kaya kucing kebelet kawin," ujar Ardhan mengasal.
Perkataan pemuda itu malah membuat Riana tertawa, "Apaan kucing kebelet kawin? Emang kamu pernah liat?"
"Enggak."
"Pagi siang malem, kagak berenti apa itu bucinnya?" Celetuk Fino yang baru datang dengan tas yang disandang sebelah.
Jika boleh dibilang, Fino dan Haris amat kaget akan berita Ardhan menjadikan Riana pacarnya. Entah apa yang dipikirkan temannya satu itu. Fino dan Haris hanya berpikir positif bahwa Ardhan memang sudah yakin atas pilihannya.
Tetapi tetap saja keduanya ngebet pengin tahu alasannya. Mereka perlu menculik Ardhan dari Riana yang ingin makan bersama di kantin. Biarlah, agar Ardhan juga tidak kehilangan waktu bersama teman-temannya.
"Secepat itu lo cinta sama Riana, Dhan?" Tembak Haris langsung tanpa basa-basi.
"Gue nggak pernah pacaran, Ris. Jadi gue nggak tau gimana rasanya bener-bener cinta dan sayang sama cewek. Gue coba mulai dari Riana, siapa tau gue bisa dapet ngerasainnya, kan?" Ardhan mengambil napas sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, "banyak yang sadar dia cinta ketika orang itu pergi atau udah nggak ada di dunia. Gue nggak mau itu terjadi sama gue. Riana udah dua tahun nemenin hari-hari gue."
Fino bersedekap dengan alis berkedut, "Ini maksudnya lo lagi belajar buat suka sama Riana?"
"Lebih tepatnya... yakinkan hati gue. Selama ini gue nggak pernah ngerti gerak-gerik dia kalo dia suka gue. Gue nggak pernah terlalu mikirin cewek di hidup gue, masalah gue aja udah banyak sampai-sampai gue lupa cari pacar," kekehnya pelan.
"Lupa cari pacar atau lo emang nggak minat pacaran?" Cibir Fino.
"Terserah lo ngartiinnya apa. Jadi giliran gue yang nanya, kapan kalian punya pacar?" Tanya Ardhan telak.
Fino pura-pura berpikir berat, "Gue bingung cewek yang mana yang mau gue kejar. Asal liat yang cantik dikit, gue mau yang itu. Ada yang menarik dan gemesin dikit, gue juga mau dia."
Haris bergidik, "Lo ngomong kaya orang paling ganteng sesekolahan, deh. Ujung-ujungnya juga nggak akan ada yang mau sama lo!"
"Heh, lo gimana, Bambang? Juga jomblo sok oke lagi. Pacaran sana biar nggak serius amat tuh hidup," cerca Fino membalas.
"Au ah, kesel gue sama lo, Pino!"
"Bodo amat," ketus Fino. Tidak ada balasan dari Haris lagi, Fino kembali mencerocos, "kalo gue sama Fahira gimana? Boleh nggak, Dhan?"
Ardhan menoleh dengan tatapan tajam, "Nggak ada urusannya sama gue. Kalau lo mau deketin dia, terserah lo."
"Terserah ya terserah, tapi jangan tinggalin gue sama bubuk cabe level maksimal ini juga, elah!" Fino sedikit berteriak agar Ardhan yang main berdiri dan pergi begitu saja dapat mendengarnya.
***
"Semenjak Bang Ardhan pacaran sama Kak Riana, dia berubah, sering senyum dan gue pernah liat tatapannya hangat banget," tutur Acha terlihat sedikit sendu.
Fahira tersenyum simpul, "Mungkin dia udah dapet kebahagiaannya. Liat dia bahagia sama orang lain aja gue udah seneng kok. Gue mah, cuma remahan rengginang doang, mana dapet orang kaya Bang Ardhan."
"Lo jangan ngerendahin diri gitu, Fah. Gue nggak suka dengernya," tegur Acha. Lirikannya seolah tengah memarahi anaknya.
Namun Fahira hanya melipat bibirnya, tidak menghiraukan ucapan Acha.
Pengeras suara yang berasal dari ruang wakil kesiswaan menghentikan seluruh kegiatan semua siswa sejenak. Dapat didengar bersama pengumumannya memanggil siswa atas nama Nazwa Ruqayyah untuk segera datang ke ruang rohani karena ada beberapa hal yang harus diurus. Sebagai ketua kerohanian antarputri, Nazwa bertugas mengatur dan mengawasi jalannya kegiatan tersebut. Sekolahnya menghidupkan kembali perkumpulan keagamaan, maka dari itu Nazwa tidak perlu berpikir dua kali masuk di bangunan ini.
"Nazwa, jangan capek-capek, ya. Inget makan, jangan sampai lupa kamu ada mag," ucap Mila sedikit khawatir. Beberapa hari ini Mila perhatikan jika Nazwa terlalu sibuk dipanggil di hari mendekati tahun baru islam.
"Iya, Mil," singkat Nazwa. Setelahnya dia berdiri beranjak dari kursi. Teman-temannya memberikan gerakan tangan seperti mengodekan semangat lewat mulut tanpa suara.
Selepas badan Nazwa menghilang ditelan pintu, Satria berpindah duduk di bangku yang Nazwa tinggali. Cowok jangkung itu menoleh pada Mila sembari mesem-mesem, membuat Mila berhasrat ingin membotaki kepala Satria detik ini juga. Tetapi tidak jadi sebab alatnya tidak tersedia.
"Nggak usah senyum-senyum. Sana pindah!" Ketusnya.
"Jangan jutek-jutek, nanti cantiknya pindah ke bebek," celetuk Satria. Tidak segera pindah melainkan tetap duduk anteng di sebelah Mila.
"Masih aja sama buayanya," ujar Mila datar. Pandangannya fokus ke depan.
"Gue nggak buaya, Mil. Lo jangan salah mengartikan buaya, lah. Buaya itu binatang yang paling setia," sanggah Satria.
"Iya, setia di laut, nggak tau kalau di darat," balas Mila, matanya melotot beberapa kali.
"Sama kaya nama gue, Mil. Satria, pria setia artinya," Satria berkata sambil memperagakan kedua tangannya.
"Dih, setia kenapa lo selingkuh?" Sinis Mila. Tanpa sengaja ia membahas luka lama yang telah coba dilupakannya.
Satria menghela napas berat, "Gue nggak selingkuh, Mil. Lo salah paham, berapa kali sih, gue harus bilang sama lo?"
"Diem. Gue nggak mau bahas," wajah Mila sudah merah, yang berarti dia benar-benar tidak ingin melanjutkan pembahasan itu lagi.
Cewek memang. Dia sendiri yang memulainya. Ujung-ujungnya dia juga yang merasa tersakiti. Dia yang menyuruh berhenti membahas, tetapi tadi dia yang membawa pembicaraan mengarah ke sana.
"Nggak ada lagi kesempatan buat gue, Mil?"
Pertanyaan sungguh-sungguh Satria, membuat Mila menoleh. Tidak. Mila tidak boleh goyah dengan tatapan Satria, dia tidak mau lemah hanya karena bola mata Satria, "Tanya aja sama pacar lo."
"Gue capek, Mil, gue nyerah. Pacaran abis putus dari lo nggak pernah berhasil," ungkap Satria, "lo coba deket sama Danu juga gagal, kan? Itu artinya, apa kita emang nggak bisa dipisahkan ya, Mil?"
"Bisa jangan bahas ini?" Mila sudah jengah. Mengerti arti air muka yang ditunjukkan gadis itu, Satria menutup mulut rapat-rapat, "ngomongin yang lain aja."
"Oke. Lo apa kabar?"
Mila terkekeh sinis, "Sesusah itu cari topik?"
Sabar, Satria. Yang di sebelahnya adalah cewek, terlebih lagi mantan kekasihnya. Menghadapi Mila dalam masa tanggal merah, memang sesulit itu.
"Kapan nggak tepos lagi?"
"SATRIAAA PERGI LO DARI SINIII!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebersit Rasa
Fiksi RemajaPerkenalkan, dia Fahira Analea. Adik kelas yang menyukai seorang kapten basket di sekolahnya. Si warga Edelweiss jelata yang berani menjatuhkan hati pada Ardhan Revano, kakak kelas yang terkenal dan berbakat. Apa kata yang cocok untuk perjuangan ci...