Pemakaman

301 53 28
                                    

Aku tidak diciptakan untuk lebur. Apalagi hanya karena seorang bajingan yang meninggalkan luka sembarangan.

<3

Sampai kemudian, aku menyadari bahwa kini tubuhku tidak mengenakan apapun. Tanganku masih ditahan dari belakang, air mataku tak henti keluar. Kekehan terdengar dari seorang yang duduk di atas kursi, dan aku melihat Langit di celah mataku yang sembab, melangkah mendekat, menggenggam sebuah pisau di tangannya.

"Reka adegan dimulai."

***

Jarak Langit denganku hanya tinggal satu langkah, kakinya berlutut, "Maaf, Kala," bisiknya pelan, ia menatap wajahku lamat-lamat dan enggan berpaling. Dengan tenang, ia membuka  jaketnya, kemudian melingkarkan jaket tersebut menutupi tubuhku. Penjaga yang lain sudah akan menarik Langit, namun ayah Yun Jira mengisyaratkan mereka untuk tetap di tempat.

"Seperti yang gue bilang, lo bakal baik-baik aja," lanjut Langit tak menghentikan suasana tak nyaman di ruangan ini.

Langit tersenyum kecil, menutup matanya kemudian mengembuskan napas pelan. Ia mengangkat pisau yang ia genggam, dua detik kemudian, semuanya gelap.

***

Langit POV

Tidak pernah bisa membayangkan sehancur apa menjadi Kala. Perempuan tidak bersalah yang kini terduduk dengan tangan yang ditahan di belakang, tanpa mengenakan sehelai benang pun. Rasanya marah, namun aku tahu kami kalah jumlah jika gegabah. Ingin aku melemparkan pisau yang kugenggam ke arah mereka satu persatu, namun hal tersebut mustahil kulakukan.

Aku menatap atap, menelitinya diam-diam. Jantungku rasanya berdetak hebat, gejolak emosi yang bertengkar dalam diri saat melihat tangis Kala dari dekat membuatku ingin meluapkannya dengan cepat. Jika bisa menangis, aku ikut menangis.

Reka adegan berengsek!

Akan kujamin Kala baik-baik saja, dan membalaskan dendamnya pada mereka semua. Kulepas jaketku untuk menutupi tubuhnya, harga dirinya, meskipun nilai Kala tak berkurang sedikitpun. Kuangkat pisau itu perlahan, dengan sekali gerakan, kulemparkan pisau pada satu-satunya lampu neon panjang yang berada di ruangan, tepat di atas kepala ayah Yun Jira.

Pecahan kaca terdengar, ruangan gelap gulita. Teriakan ayah Yun Jira akibat pecahan neon yang mengenai tubuhnya membuat semua penjaga menghampiri Sang Tuan. Aku menarik Kala dengan cepat, keluar pintu dengan bergegas. Kulihat Kiddo kebingungan.

"Keluar dari rumah ini!" instruksiku mengajaknya pergi. 

Kiddo menggeleng, memperlihatkan gelang dengan lampu merah berkedip, "Aku dilacak, semoga kalian beruntung," ujarnya menyuruh kami pergi.

Langit sudah gelap tentu saja. Kami langsung menuju mobil, menancap gas hingga gerbang. Tanpa banyak bicara, pria paruh baya yang menjaga gerbang justru membukanya. Aku harus berterima kasih kepada dia, sepertinya dia tahu bahwa tuannya sudah mulai tidak waras.

Sekitar 500 meter dari kediaman Yun Jira aku menoleh pada Kala, "Mau berhenti dulu?" tanyaku khawatir.

Kala menggeleng, "2 km lagi aja," ujarnya dengan suara bergetar. Aku paham, ia pasti shock dan memastikan bahwa jarak kami dengan rumah Yun Jira cukup jauh. Aku menurutinya, sampai kemudian, Kala berkata untuk berhenti.

"Gue mual," perempuan itu memegangi perutnya yang masih mengenakan jaket milikku. "Gue gak tenang, Langit." Matanya kembali berkaca-kaca dan tangannya gemetar, "Anxiety gue naik, gue panik." Napas Kala mulai tak karuan, aku memarkirkan mobil di salah satu parkiran toko yang sudah tutup.

11.12 PMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang