***"What the hell?!" Aku menerawang kaca besar pada toko bertuliskan 'TUTUP' itu.
"Setelah mereka menjual kasur berisi mayat, mereka lari dari tanggung jawab? Tokonya tutup?" Aku berdecak, menatap Yura, teman satu meja yang bersedia mengantarku menuju toko kasur yang malam sebelumnya kudatangi.
Yura menyakalakan mesin motornya, ia tak ingin melihat aku mengamuk di pinggir jalan seperti ini. "Apa yang bakal lo lakuin setelah ini?" tanyanya memperhatikan aku yang masih mengenakan helm.
"Lo bakal lihat apa yang bakal gue lakuin!" Aku melepas helmku. Mendekati kembali toko itu.
Dengan gerakan cepat aku melakukan semuanya.
Brak!!
Bunyi nyaring kaca yang pecah sangat kentara, membuat beberapa pasang mata yang berada di sekitar menoleh ke arah kami. Ya, benar, yang kulakukan adalah membanting helmku pada kaca toko pengecut, setidaknya itu layak didapatkan.
"Seriously, Vienna?" pekik Yura, mengisyaratkan aku naik segera.
Aku terkekeh sebelumnya kemudian naik, kurang memperhatikan bahwa ada mobil polisi yang berjaga di seberang toko.
Alarm polisi itu berdengung seketika. "Go fast, Yura!" aku berteriak saat jarak mobil itu tak jauh dari motor yang kami kendarai.
"Lo nyusahin gue, bitch!"
Dan kesialan itu tiba. Lampu merah! "Lo gak bisa terobos?" tanyaku gemas.
"Gue gak pengen mati muda! Gila! Nanti cita-cita gue membangun rumah tangga sama Adipati Dolken kandas seketika!" umpatnya padaku yang memang layak. Aku memutar bola mata, malas.
Salah seorang polisi turun dan mencekal lenganku. Tatapan orang-orang yang sama menunggu lampu hijau itu jelas penasaran. Kami masih mengenakan almamater, untung saja baik aku maupun Yura memakai kardigan yang menutupi identitas Jayapatra.
Aku turun, tak bisa mengelak sebelum keadaan bertambah buruk. Dengan sialan, Yura berteriak. "Gue cuma driver ojek online!" Kemudian setelahnya melesat karena bertepatan dengan lampu hijau tiba.
Sampai akhirnya, sampailah aku pada 'pers conference' lebih cepat, dengan kasus yang berbeda. Jika nanti jam panggilku tiba untuk mengisi keterangan kasus Yun Jira, mungkin para polisi ini akan bosan denganku.
***
"Nama?"
Aku hanya diam menatap polisi itu tajam. Ruang berwarna coklat ini tiba-tiba saja memanas saat aku tak terima tas milikku diobrak-abrik sembarangan.
Apa mereka tidak mengerti privasi, ha?
Salah satunya menggebrak meja. Jika kalian kira diintrogasi itu hanya ditanyai dengan lemah lembut, kalian salah besar.
Mungkin karena aku seorang perempuan dan semua yang berada di ruangan ini laki-laki, hingga aku hanya dibentak-bentak saja.
"Joanne Kathleen Rowling," aku berujar datar.
Ada yang terkekeh di sudut sana. Kulempari ia dengan kaleng soda kosong yang terletak di atas meja.
"Umur?" tanya polisi yang mencatat namaku tadi.
"23 tahun," ujarku membuat ia melongo.
"Jangan main-main, Nona. Bukankah kau masih menginjak kelas dua sekolah menengah atas?"
"Apa wajah yang pernah tak naik kelas selama tujuh tahun ini terlihat sedang bermain, Tuan?" aku balik bertanya. Jelas aku tertawa puas dalam hati.
Karena kuyakin mereka tak dapat menemukan akta maupun kartu keluargaku. Semua dokumen berharga dibawa Mama dan Ayah ke luar negeri. Mereka takut rumah kami sudah terbakar hangus saat mereka kembali. Dan data di pusat pemerintahan terdekat tidak sekomplit dan seakurat yang ada.
Lagi-lagi di sudut ruangan ada yang tekekeh. Kulempari lagi ia dengan pembalut cadangan yang kubawa, karena tak ada lagi kaleng soda. Terlanjur sudah terpampang nyata di atas meja. Ini yang kusebut, mereka tak mengerti privasi.
"Ceritakan dengan singkat keluargamu," ujarnya membuatku menghela.
"Kedua orang tuaku kabur ke luar negeri untuk menjalankan bisnis narkoba. Abangku seorang pemabuk berat yang kini entah tinggal di mana. Aku tinggal dengan seorang kucing durhaka bernama Kimmy. Itu juga alasan kenapa aku mendapat kasur berisi Yun Jira, karena Kimmy dan kotorannya dengan sialan mengotori kasurku!"
Polisi itu tampak berpikir. "Apa kau Kala Lavieena?"
Aku terkekeh.
"Kala Lavieena, 17 tahun pada 19 Desember nanti, yang berarti umurnya 16 tahun. Kedua orang tuanya ke luar negeri untuk bisnis tembaga dan permata. Memiliki kakak laki-laki bernama Senja Davieena yang kini tinggal satu kos bersama teman-temannya di daerah Sumatera."
"Hei!" pekikku, aku sudah memegang buku kecil berwarna tosca dan melemparkannya pada dia. Cowok di sudut ruangan itu, kali ini aku dapat menangkap seringainya karena ia memakai topi dalam-dalam, hingga semula aku tak dapat melihat siapa ia.
Tapi aku mengenal seringainya. Langit?
Kali ini, ia menangkap buku yang kulemparkan. "Penguntit dari mana lo?" seruku, namun ia hanya diam.
"Tunggu, lo bilang abang gue ngekos sama temen-temennya di Sumatera?" tolong, aku saja tak tahu di mana letak abangku sekarang. Kenapa ia tahu?
Lagi, aku hanya melihat sebuah senyuman.
Ponsel di atas meja milikku berdering, menunjukkan sebuah panggilan dari 'mandinya lama', yang tak lain abangku.
"3 jam tepat, dan ini selesai." Aku bangkit, memasukkan semua barang-barang yang terletak di atas meja kembali pada tasku. Kecuali pembalut yang sempat aku lemparkan.
Kemudian keluar ruangan tanpa pamit. Sudah kubilang bahwa tata krama itu hanya merepotkan. Tapi untung saja tadi aku masih menyebut diriku dengan panggilan 'aku' saat berbincang dengan polisi, masih kuhargai yang sudah berumur.
Aku mengembungkan pipi, mendapati abangku yang hampir terpingkal melihat aku yang baru saja keluar dari kantor polisi.
"Ngapain lo?" tanyanya masih dengan sisa tawa.
Aku mengambil helm dari dia. "Kemana aja lo? Lo berhasil menelantarkan gue, Bang!" kesalku.
"Lo pikir Mama sama Ayah cari duit mati-matian buat apa? Ya buat gue habiskan lah, Baby. Sampe rumah nanti lo ceritain semuanya ke gue!"
Aku hanya mengangguk pasrah, hari ini terasa sangat lelah. Kupeluk Bang Senja erat. Menahan rasa cemas yang bergejolak dalam diri. Ada sebuah rasa khawatir yang orang-orang tak mengerti.
Timbul tanpa sebab, yang oleh diriku sendiripun tak bisa kupahami.
Orang-orang mengenalnya dengan sebutan Anxiety disorder.
Kelainan mental yang meyebabkan seseorang merasa cemas dan khawatir tanpa diketahui penyebabnya.
Aku merasakan itu semua, ketika kukira semuanya sudah sembuh dan menghilang. Ternyata ia hanya bersembunyi, untuk sesekali menyapaku lagi.
Jantungku berdebar tak karuan, menyebabkan aku menangis tanpa alasan.
Kemudian setelah menahan diri untuk tidak menangis di depan Bang Senja aku tersadar sesuatu.
Buku harianku.
Buku tosca kecil yang buru-buru ku cek dalam tas. Tak ada!
Aku panik, kemudian teringat bahwa aku melemparkannya pada Langit, kalau aku tak salah orang.
Aku tidak ingat seluruh isinya tentang apa, tapi itu jelas sangat berharga. Semua hari-hariku kubagi di sana. Tak boleh ada yang mengetahui isinya selain aku.
***
Aneh bgt gw tiba-tiba upload cerita ini
KAMU SEDANG MEMBACA
11.12 PM
Mystery / Thriller-I just want my wish to be granted a little late- *** Ketika pukul 11:11 menjadi waktu dikabulkannya harapan. Bolehkah aku menginginkan sebuah harapan yang dikabulkan terlambat? Sedikit saja. Tepat pada pukul 11:12, aku berharap dia pergi. 🕐 Bagai...