Terima kasih sudah hadir di sini!
Absen dulu, ada yang dari kota Surakarta?
Makassar?
Aceh?
Kalian dari mana?
Enggak terima jawaban : Dari kahyangan.
***
Beberapa bab diciptakan untuk terluka, kemudian sembuh.
Beberapa bagian diciptakan untuk merasa, sisanya disobek duka.
***
Kala POV.
Aku tahu tipe muslihat seorang player.
Dan satu sekolah tahu bahwa Langit salah satunya. Jadi, aku tak usah repot membedakan mana yang tulus dan mana yang modus.
Ia pikir, ia saja yang bisa bermain? Tipe orang seperti Langit sesekali harus kena hajar. Ia tidak akan tahu bahwa aku bisa memenangkan permainan.
Langit mengajakku menonton konser yang diadakan entah di mana, aku tidak tahu. Dan mungkin sekarang ia sedikit tercengang, setelah biasanya sangat sentimen terhadap Langit. Aku kini mengiyakan tawaran itu dengan senyum manis. Seolah aku termakan umpannya.
Kupamit pada Bang Senja yang sudah siap-siap berniat pergi dengan pacarnya. Ia hanya memberiku wejangan agar jangan sampai aku terbuai. Sudah tentu, aku sama sekali tidak tertarik pada modelan seperti Langit.
Dari awal dia menculikku pun, sudah seperti ada penolakan dalam diriku.
"Mending lo ngomong apa tujuan lo ngajak gue jalan?" ujarku tanpa basa basi saat akan menaiki motornya.
Langit mengedik, "Gak ada. Gue ngajak lo nonton konser bukan jalan."
Ingin kujambak saja rambutnya. Tapi Langit mengisyaratkanku untuk menaiki motornya dengan cepat.
"Lo gak perlu khawatir, gue hanya tertarik sama cewek dengan standar tinggi, Kala."
"Yayaya!" Aku mengiyakan, memang, aku jauh dari kelas Yun Jira. Padahal jika mau, aku bisa saja menjadi seperti Yun Jira yang lain. Namun aku lebih senang bersama orang-orang seperti Yura.
"Dan gue gak suka cewek agresif!" tekannya sekali lagi. Aku menghajar bahu Langit.
"Lo pikir gue agresif, ha?" tanyaku jelas tidak santai, seenaknya saja dia. Langit hanya menoleh, menatapku seolah-olah itu adalah jawaban 'iya'. Aku kembali turun dari motor langit, melepas helm, "Gak mau gue pergi sama lo," ujarku menegaskan, kemudian melangkah memasuki rumah.
Aku tahu, Langit pasti terheran-heran dengan sikapku yang berubah drastis. Biar jadi pelajaran, bahwa ia tidak bisa berkata sembarangan. Beberapa kali Langit memanggil namaku, Kala, Kala, Kala, sudah kubilang bahwa aku tak suka dipanggil Kala. Kali ini, kuabaikan dia, terserah saja.
***
Kafetaria berisik, jam istirahat kali ini aku tidak ditemani siapapun. Yura demam, mungkin karena letih mengurusi Adipati yang masih terbaring di rumah sakit. Sesaat aku berpikir, bahwa seharusnya memiliki teman lebih dari satu agar tidak kesepian saat seorang temanku hilang. Namun, Yura sudah lebih dari paket komplit untuk menjadi teman.
Aroma maskulin tiba-tiba menggelitik indra penciuman, sosok tinggi itu berdiri di sampingku--tentu saja aku geer, karena ia tengah membeli minuman ringan di kedai yang tepat bersampingan dengan meja yang aku tempati.
KAMU SEDANG MEMBACA
11.12 PM
Mystery / Thriller-I just want my wish to be granted a little late- *** Ketika pukul 11:11 menjadi waktu dikabulkannya harapan. Bolehkah aku menginginkan sebuah harapan yang dikabulkan terlambat? Sedikit saja. Tepat pada pukul 11:12, aku berharap dia pergi. 🕐 Bagai...