3

10 1 0
                                    

VIONA

Hujan pertama di bulan Januari, sekaligus tahun ini dan semester baru. Baru hari pertama masuk sekolah sudah hujan sederas ini. Mana waktu pulang lagi. Ririn juga lagi cuti, kenapa Daddy kasih liburnya malah waktu aku sekolah. Tadi Pak Joko yang mengantarku, harusnya dia juga yang menjemputku tapi nggak ada. Biasanya kalau Ririn, dia akan menunggu di depan gerbang. Jika hujan begini dia akan minta izin masuk ke satpam dan menjemputku di pinggir lapangan.

Hapeku berdering, Daddy menelepon. "Sweetheart, I'm so sorry. Pak Joko ikut Daddy meeting sekarang, can you go home without him?"

Yah, gimana dong? Imel kan duluan pulang tadi, ah tahu begini aku nebeng dia. "I think so. It's okay, Dad."

Kutolak penawaran Daddy untuk memesankanku taksi, bedanya apa dengan aku pesan sendiri? Aku jadi malas pulang, tunggu hujan reda juga kayaknya nggak jelas bakal selesai kapan. Hm? Tunggu, itu bukannya.... Eh, mataku beneran nggak sih? Hujannya deras banget jadi nggak bisa lihat jauh dengan jelas. Tapi aku mengenali sosok yang memegang payung di luar pagar sekolah itu. Rambut ikalnya nggak beraturan dan celana pendeknya itu jelas kuingat milik siapa. Kebetulan ada satpam lewat membawa payung, kupinjam saja payungnya dan pelan-pelan berjalan ke sana. Iya kan? Aku nggak salah lihat, Mas Hari memang ada. Jaket hitamnya melapisi kaos putih polos dengan wajah yang nggak bisa kutebak sedang berekspresi apa. Seperti biasa juga, sebatang rokok ada di antara bibirnya yang tipis.

"Mas Hari kok disini?," tanyaku agak keras agar dia bisa mendengarku di sela suara hujan.

"Kebetulan," balasnya singkat.

Oh, sandal hotelnya terendam genangan air. Bagian dalam sepatuku juga mulai basah.

"Mau berteduh di situ?" tangannya mengarah ke halte di seberang, namun pandangannya padaku.

"Ayo," sahutku meraih lengannya dan berjalan mendahului.

Jangan tanya apa yang sedang kurasakan. Debaran konstan tiap kali bersama cowok ikal di belakangku ini selalu ambil bagian. Sekarang aku bisa menikmatinya, mulai membiasakan diri kalau memang Mas Hari bersamaku maka jantungku akan bekerja dua kali lebih cepat dengan konsekuensi aliran darahku juga lebih deras ke seluruh tubuh termasuk wajah. Kami duduk seperti sedang menunggu bis, hanya berdua.

"Lepasin," gumaman dari sampingku membuatku seketika sadar jika tanganku masih memegangi pergelangan tangannya.

"Sorry," aku nggak berani melihat wajahnya. Pasti risi banget.

"Never mind."

Tumben? Pelan-pelan kuangkat kepalaku dan memerhatikan cowok di sebelahku ini. Wah, tumben wajahnya nggak bersih? Ada tiga-empat jerawat yang tersebar, sepanjang garis rahangnya ditumbuhi rambut pendek-pendek dan sepertinya kasar jika dipegang. Aah, aku mau pegang dagunya.

"Woi, mau ngapain tanganmu?"

Hah?! Aduh, kelepasan! "Eeeh, nggak kok. Nggak ngapa-ngapain. Hehe."

Decakan keras sebagai tanggapan, khas Mas Hari. Wajah kesalnya yang kuingat kini kulihat. Entah kenapa aku lebih nyaman melihatnya begitu.

"Bisnya datang," dia tiba-tiba berdiri namun melihat ke satu arah sejak tadi.

Ada sebuah bis merah yang mendekat dan berhenti tepat di halte tempat kami berteduh. Pintunya terbuka, beberapa orang turun, kemudian Mas Hari mengajakku masuk. Dugaanku benar, pintunya memang bersuspensi otomatis. Petugas mempersilakanku duduk di bangku berwarna pink bagian depan sementara Mas Hari justru berjalan lebih ke belakang di area yang bangkunya warna merah semua.

"Kak, kenapa saya duduk disini tapi teman saya di belakang?," tanyaku pada petugas yang membawa mesin semacam EDC.

"Ini, bangku yang pink, khusus untuk perempuan. Yang oranye ini," dia menunjuk belakangku, "bangku prioritas. Untuk ibu hamil, lansia, atau penyandang disabilitas. Yang merah belakang itu bangku umum, siapa saja boleh duduk disitu."

Secretary's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang