10

2 1 0
                                    

VIONA

Tangannya gemetar, matanya yang menatap lurus ke dalam mataku seolah ingin berteriak sekuat yang dia bisa. Mas Hari nggak baik-baik saja, dia ketakutan. Teramat sangat. Ada sesuatu di masa lalunya yang sedemikian menakutkan dan masih terbawa hingga kini. Kutunggu dia melanjutkan ucapannya dengan sabar, kali ini aku nggak menuntut dia untuk berkata. Sedikit pun aku nggak pernah menyangka jika cowok di sampingku ini adalah korban pelecehan seksual.

"Bukan seperti yang kamu pikirkan, sama sekali nggak seperti itu. Di kasusku, pelakunya perempuan," katanya yang kali ini menunduk menatap botol kosong di tangannya.

Oh ya? Setahuku justru lebih fatal jika cowok jadi korban pelecehan yang pelakunya perempuan.

"Dan kamu tahu apa yang lebih sial dari itu? Perempuan itu jadi kakak iparku."

Astaga! Ya Tuhan, bagaimana bisa....

"Ah, sori," lanjutnya yang justru tersenyum tapi sangat aneh di mataku. Senyuman paling nggak wajar yang pernah aku lihat. "Kalo sekarang sih bisa dibilang dia mantan kakak ipar."

"Terus Mas Hari gimana?"

"Aku? Nggak gimana-gimana kok, aku masih sehat kan?"

"Bukan begitu! Tahu kan maksudku?"

Dia mengambil sebotol air dan meneguknya hingga berkurang setengahnya, setelah itu dia menatap entah apa di depannya. Pandangan kosong yang baru ini kulihat ada di matanya. "Mana bisa aku lapor, coba pikir aja sendiri. Ada nggak yang percaya? Yang jelas, kalimat pertama yang pasti akan aku dengar kalo waktu itu lapor ke guru adalah 'anggap aja nggak terjadi apa-apa'. For God sake, aku nggak pernah memaafkan dia. Untuk pertama kalinya aku merasakan stres karena dia, sakit kepalaku yang menyebalkan itu juga. Dan saat itu aku menyadari ternyata justru penyebab dan penawarnya ada di orang yang sama."

Jujur, aku nggak tahu harus berkata apa di saat begini. Aku nggak tahu yang dia rasakan, nggak mengerti bebannya, tapi cuma diam mendengarkan membuatku merasa bersalah. Kugenggam tangannya, sekadar meyakinkan diriku kalau aku masih di sini. Di sampingnya, mendengarnya, mengerti bahwa rasa sakitnya juga sedang kurasakan kini.

"Maaf kalo aku underestimate Mas Hari dan seenaknya judging," kataku lirih.

"Nggak masalah, udah biasa tuh. Take it easy," balasnya yang mengacak rambutku dan berusaha tersenyum. Senyumannya yang manis seperti biasa.

"That's never be easy for everyone! Gara-gara dia Mas Hari jadi kecanduan having sex waktu stres kan?"

"Memang, tapi aku pengen kamu tahu satu hal penting."

Oh, masih ada lagi ya? "What's that?"

"You're my stress and also my remedy at the same time now."

Itu pujian atau hinaan sih?

"Kamu udah tahu kan kalo pusingku lagi kumat kayak apa? Nah, bedanya sekarang kamu yang sering bikin aku stres. Lihat kamu tuh rasanya pengen...."

Refleks aku menutup mata rapat-rapat dan melindungi kepala waktu Mas Hari melayangkan tangannya ke atas kepalaku. Tapi bukan pukulan seperti yang kubayangkan, melainkan belaian lembut di rambutku. Wajahnya yang tertawa kecil kulihat saat membuka mata.

"Aku mana bisa mukul kamu, tenang aja," katanya di sela tawa. "Biar bejat begini moralku nggak serendah itu sampai tega mukul cewek, Vi."

Keterlaluan sih kalo iya.

"Yang mau aku bilang ke kamu tadi itu, aku udah bisa mengatasi stresku sendiri. Nggak perlu check in lagi," katanya sambil membuat tanda V dengan jari telunjuk dan tengahnya. Senyumannya lebih ceria dibanding tadi.

Secretary's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang