5

4 1 0
                                    

VIONA

"Eh gila, jadi Jumat itu gimana sih kok bisa sampai gitu? Kalian abis ngapain?," Imel memburuku saat baru masuk kelas. Sengaja dia menahanku bercerita di telepon agar bisa mendengarnya langsung.

"Awalnya kan dia ngajak ketemu tuh, pagi dia chat gitu. Aku iyain aja, kan baru itu dia ngajak duluan," kumulai kisah dengan Imel yang makin penasaran.

"Terus, terus?"

"Tadinya nggak ada masalah, ya jalan bareng aja kita. Tahu-tahu dia bilang udahan ketemunya, nggak mau ketemu aku lagi. Kan nyebelin! Aku mana mau dibuang gitu aja, makanya aku ikutin dia sampai ke parkiran."

"Terus, kok bisa sampai...."

"Itu dia, aku juga nggak ingat banget gimana bisa sampai ada di posisi itu. Cepet gila, Mel! Pas sadar aku udah di jok belakang, dia di atasku. Cowok yang suka check in emang beda ya."

Kata 'waaaah' dari Imel bisa kumengerti sepenuhnya. Aku juga mengagumi kecepatan gerakannya itu sih. Baru kusadari sekarang karena waktu itu aku syok berat.

"Vi, jadi kalian beneran 'itu' di mobil?," Imel memelankan suara dan membuat kode tanda kutip saat mengucapkan 'itu'.

"Nggaklah, aku takut banget waktu itu! Tiba-tiba disergap gitu pasti paniklah, pikiranku udah ke mana-mana aja tuh. Kayaknya sih aku nggak diapa-apain sama dia."

"Tahu dari mana?"

"Seragamku masih nempel, nggak ada tanda-tanda bekas dilepas juga. Lagian aku pingsan kan, waktu bangun udah di mobil sama Ririn."

"Woow! Ririn the savior!"

Kutertawai ulahnya yang bagai memuja Ririn. Aku belum berterima kasih karena dia menemaniku dan tidur bersamaku karena masih takut sendirian. Mungkin dia nggak merasa itu hal besar atau malah sudah kewajibannya, tapi untukku keberadaannya sangat berarti. Andai dia nggak ada, aku juga nggak akan bisa pulih secepat ini. Ada kalanya memang Ririn sangat sabar menghadapiku, meski setelahnya tetap mengomel. Kadang aku membayangkan seandainya pengasuhku perempuan seperti pengasuh teman-temanku, apa bisa aku mengandalkannya? Maksudku, untuk saat-saat tertentu laki-laki kayak Ririn itulah yang kubutuhkan. Jumat malam itu misalnya.

Nanti deh pulang les aku traktir dia makan, dengan syarat nggak merepet seharian ini.

*

Beberapa hari terakhir aku rajin belajar membuat macam-macam simpul tali, mulai yang paling dasar sampai yang agak rumit. Nggak perlu yang rumit banget, asal bisa mengikat erat saja cukup. Ini penting banget buat rencana yang kususun dengan Imel. Lihat saja nanti, akan kubuat dia merasakan apa yang kurasakan. Cowok itu harus tahu kalau aku bukan seseorang yang bisa dia buang sembarangan. Hehe, aku nggak sabar menunggu eksekusi rencana ini. Untuk sementara aku terus menerus mengiriminya pesan dan sesekali missed call, sekadar dia terganggu saja. Pasti muak kan kalau hape kita terus menerus bergetar karena banyaknya notifikasi masuk? Revenge plan part one: mission accomplished.

Imel bilang, semua tergantung Mas Hari. Saat dia merespon semua terorku, ketika itulah rencana kedua dimulai. Sejauh ini belum ada respon sih, aku nggak heran karena dia membalas chat-ku saja butuh dua minggu sedangkan pesan beruntun dariku baru seminggu. Tenang saja, cepat atau lambat dia pasti terusik. Rencanaku memang nggak buru-buru.

Selagi persiapan itulah aku mengetahui satu fakta: Imel ternyata pacaran dengan Zein! Astaga, tadinya kukira targetnya aku ternyata Imel. Semua yang pernah atau sedang jadi pacar Zein sama-sama paham kalau itu semacam 'kegiatan', pengisi waktu luang gitulah. Sekadar teman jalan, bonus beberapa ciuman. Namanya juga pacar. Kedua biang kerok itu katanya mau ke rumahku untuk belajar, seminggu sekali ada ujian di sekolahku. Semacam ulangan harian. Firasatku bilang aku bakal jadi nyamuk deh. Menyebalkan.

Secretary's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang