HARINA
Belakangan selera makanku berkurang drastis. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Bahkan di setiap jengkal hidupku pasti ingat Viona. Alih-alih jatuh cinta aku justru stres berat gara-gara dia. Selesai sudah. Kalau dia sampai buka mulut karena aku yang check in dan mabar di warkop, habislah aku. Waktu itu aku juga kenapa selengah itu sih? Sudah jelas di area sekolah Viona kenapa malah tergoda wifi? Sialan! Bahkan Chika tidak lagi ampuh mengusir stresku saat ini. Bego!
Pak Wildan alias Pak Dir yang juga sekaligus ayah Viona beberapa hari ini tidak ada jadwal keluar kota, jelas pekerjaanku kembali ke sedia kala. Sialaaan! Aku benci stres, aku tidak bisa hidup dengan kata itu pokoknya! Tiba-tiba saja kata dipecat muncul lebih sering di otakku, bisa jadi tanpa pesangon. Mati aku! Jajanku kan mahal, Chika mana mau diutangin. Brengsek! Aku harus bagaimana?
Ponselku tahu-tahu bergetar, pesan dari Pak Wildan menyuruhku ke ruangannya. Nah kan? Ini dia akhirnya. Tamat sudah riwayatku. Kalau sampai dipecat, aku harus kerja apa? Gaji sebagai sekretaris dan pengasuh Viona kan jumlahnya di luar nalar pegawai. Masa aku harus kembali ke Ponorogo dan menggarap sawah keluarga? Hiiih! Membayangkannya saja aku tak sudi. Buat apa aku kuliah hingga S2 kalau ujung-ujungnya masih mencangkul juga?
Kuketuk pintu ruang direktur dan masuk. Di titik ini aku pasrah, terserah saja bagaimana nasibku setelah ini. Oh ya, aku harus pamit ke Chika. Pelanggan setianya akan berkurang satu.
"Rin, kerjaanmu banyak disini?," tanya Pak Wildan tanpa mendongak dari berkas di mejanya.
"Tidak juga, Pak. Ada yang bisa saya bantu?," kutegar-tegarkan suaraku. Jangan sampai terdengar lemah sekarang.
"Kalo gitu kamu pulang aja temenin Viona, mungkin dia butuh sesuatu atau mau kemana."
Ha? Apa? Aku disuruh pulang? Pulang ke mana maksudnya? "Pulang itu...."
"Oh ya, kamu bawa aja mobilnya," bukannya menjelaskan, Pak Wildan malah memberiku kunci mobil. "Nanti suruh Joko jemput saya ya, Rin."
Joko? Maksudnya Pak Joko sopir pribadinya? Oh berarti aku pulang ke rumahnya, bukan ke rumahku di Ponorogo. Dengan senyuman bisnis dan pemahaman bahwa aku tidak dipecat, kuucapkan pamit dan undur diri. Bagus, ini artinya Viona belum buka mulut soal itu. Dua kali sudah dia memergokiku, wajar bila aku terlalu waspada kan? Sebentar, rasanya ada yang aneh. Kalau memang si ember itu tahu aku mencuri waktu kerja, kenapa tidak langsung mengadu saja? Daddy-nya kan di rumah, dia punya banyak waktu untuk bicara. Benar juga, sikap Viona juga beda saat menyapaku tempo hari di warkop dekat sekolahnya. Dia... gugup?
Iya ya, sikapnya sama sekali lain waktu itu. Seolah aku adalah orang lain, orang asing. Dia bahkan memanggilku 'Mas Hari'. Heh, yang benar saja. Sejak bisa bicara kan dia memanggilku Ririn, kenapa waktu itu menyebut nama asliku? Apa memang aku dianggap orang asing? Jika benar, kenapa? Dia tidak mengenaliku jika tanpa setelan resmi? Aku kan baru jadi sekretaris sepuluh tahun belakangan, harusnya dia punya ingatan saat aku berbaju kasual. Toh aku yang merawatnya sejak umur seminggu, harusnya dia hapal muka pengasuhnya ini. Ck! Entah aku harus bersyukur atau justru kesal karena dia lupa wajahku yang sebenarnya.
*
Telepon dari Clara tadi siang langsung kuiakan ajakannya untuk check in malam ini. Lama-lama aku bisa gila hanya karena menemani si nona bodoh ini belajar. Kenapa juga nilai bahasa Indonesianya sehancur itu meski dia asli orang Indonesia? Ini pasti gara-gara orang tuanya yang terlalu membiasakan dia bicara bahasa Inggris sampai ikut les ini dan itu.
"Ririn, kok diem sih? Buruan dong jelasin ini apaan, nggak ngerti aku!," Viona mulai merengek lagi minta diajari. Saat ini kami sedang membahas soal ujian akhir semesternya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretary's Secret
RomanceHarina adalah seorang sekretaris direktur yang juga merangkap sebagai pengasuh putri tunggal atasannya. Diluar jam kerjanya, penampilannya sangat berbeda dan seringkali check in dengan perempuan panggilan. Dia juga sering ke warkop untuk main game o...