4

5 1 0
                                    

HARINA

Konsekuensi setelah hampir tiga minggu absen ke kantor adalah gunungan dokumen di mejaku serta serbuan para sekretaris yang menanyakan banyak hal perihal tugasnya. Trik jitu untuk mengatasi semuanya sekaligus mencegah sakit kepalaku kambuh adalah berlari sembunyi di pantry. Terserah apa kata orang, aku tak mau jatah jajanku habis di awal bulan. Menenangkan diri, mengingat kira-kira apa saja yang telah kutinggalkan selama ini, pelan-pelan bisa juga kucerna serangan tugas tadi.

"Pa, Pak Harina? Bapak masih lama nggak sembunyinya?," Sani mengintip ke kolong meja tempatku bersembunyi.

"Diam kamu! Saya lagi mikir!," gertakku.

Kutiru cara Viona dulu jika kabur dari serbuan Soma yang setengah mati nakalnya. Oh ya, apa kabarnya si bandel itu ya? Kakak Viona laki-laki dan berjarak empat tahun lebih tua, sekarang kuliah teknik nuklir di Jepang dan tinggal dengan ibunya yang menjadi peneliti. Setelah berkali-kali mengatur pernapasan dan merasa cukup tenang, aku keluar dan mengambil secangkir teh yang dibuatkan Sani. Oke, aku siap kembali ke habitatku sebagai kepala sekretaris.

Bukannya kepala, yang sakit adalah mata jika melihat tumpukan di mejaku. Sudahlah, kalau dikerjakan juga datar dengan sendirinya. Nah, mulai dari mana dulu?

"Permisi, bisa bertemu dengan Ibu Harina Nirwasita?"

Seketika satu ruangan penuh suara cekikik tertahan. Aku dengar, woi! Seorang perempuan berjalan menuju tempatku setelah diarahkan oleh Indri yang masih menahan tawa di mejanya. Awas saja, akan kubuat dia menggantikan sakit kepalaku.

"Permisi, Ibu Harinanya...."

Kuacungkan tanda pengenal pada perempuan di depanku, lengkap dengan wajah jengkel. "Saya Harina Nirwasita. Ada apa?"

Reaksi kaget sekaligus sungkan perempuan itu persis seperti saat pertama kali aku masuk ruangan ini sepuluh tahun lalu. Mungkin karena mendengar akan mendapat personel baru, seluruh sekretaris penasaran dengan orang bawaan Pak Dir. Desas-desus pegawai baru di sini jauh lebih cepat dari 5G, bahkan pada waktu itu. Seorang tamatan S2 matematika bernama Harina Nirwasita adalah gadis kenalan Pak Dir yang akan menjadi asisten sekretaris, begitu yang kudengar dulu. 'Gadis'. Ketika Pak Dir masuk membawaku dan kuperkenalkan diri, seluruh pria di ruangan ini kompak kecewa karena batal mendapat 'oase' baru. Sebagai gantinya, para sekretaris perempuan yang bahagia karena ada junior 'imut-imut'. Hari ini, seluruh seniorku itu telah pensiun dan kugantikan jabatannya.

Di ruang rapat —perempuan tadi rupanya sekretaris pribadi salah seorang direksi—, Pak Wildan meminta MoU yang kubawa. Beliau bersama beberapa orang yang kuingat sebagai direksi. Mereka mengobrol ringan seputar proyek terbaru dan entah kenapa merasa perlu melibatkanku dalam percakapan para petinggi kantor. Justru aku yang tidak mau terlibat, terserah mereka sajalah mau mengerjakan proyek senilai berapa milyar atau triliun, yang penting gajiku ditransfer tepat waktu tiap bulan. Beralasan ada dokumen yang mendesak harus kuselesaikan, aku berpamitan dan lolos dari obrolan elite mereka. Sungguh, otakku tak bisa mencerna rencana bisnis yang mereka bicarakan. Lain cerita kalau mereka tanya mengenai persamaan diferensial, dengan senang hati akan kujelaskan hingga mereka tertidur.

Jam dua siang waktunya aku berpamitan menjemput Viona seperti kebiasaanku. Jarak dari kantor ke sekolah tidak terlalu jauh, jadi meskipun aku berangkat agak telat pun sebenarnya tak masalah dan masih bisa tepat waktu di sana. Di tengah perjalanan tiba-tiba saja hujan turun tanpa disertai mendung. Viona pasti tidak bawa payung, sedangkan di mobil hanya ada satu payung lipat kecil. Biarlah nanti untuk Viona saja payungnya.

Bersama beberapa sopir lain aku menunggu di seberang pagar sekolah. Selalu, jika sedang menunggu begini ada saja yang menanyaiku 'aneh-aneh'. Paling sering sih pacarku guru apa, yang ketika kujawab bahwa aku pengasuh salah satu siswi kelas XI mereka malah kompak ber-ooh. Katanya aku terlalu ganteng untuk jadi sus, pakaianku juga sangat formal untuk ukuran sopir ataupun pengasuh. Langka pula seorang babysitter berjenis kelamin laki-laki. Belum tahu saja mereka berapa gajiku, pasti akan disahuti 'wah, aku juga mau deh kerja disitu'. Kalau tahan sih, silakan saja menggantikanku. Itu juga kalau Viona mau pengasuhnya diganti.

Secretary's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang