HARINA
Bau alkohol? Ah, sial! Kepalaku masih saja sakit saat bergerak. Tapi, bau di sekelilingku ini mengganggu sekali. Sejak kapan kantor baunya seperti rumah sakit?
"Ririn! Bangun, Rin!"
Suara Viona? Wajahnya cemas, bahkan matanya berkaca-kaca. Kenapa dia?
"Nona?," kudapati suaraku parau saat berucap. Oh? Dimana aku? Ini jelas bukan kantor.
Tangis Viona pecah seketika, dia memelukku yang masih belum bisa bangun karena denyutannya semakin parah. Darinya aku tahu jika sekarang kami di rumah sakit karena aku tiba-tiba pingsan saat mengemudi. Untungnya saat itu kakiku memang sedang menginjak kopling dan akan berhenti di lampu merah. Bagaimana bisa aku pingsan dalam kondisi seperti itu?
"Kamu harusnya bilang kalo sakit, Rin! Tahu begini aku nggak minta antar kamu ke PTC, kenapa kamu nggak bilang apa-apa? Aku ini apa buatmu, Rin?!"
Sebentar, aku bingung. Viona kenapa sih? Ralat, aku yang kenapa. Memangnya apa yang kulakukan hingga membuatnya marah dan menangis? Aku pingsan, itu jelas. Karena stres yang bertumpuk? Sakit kepala keparat itukah? Agar tidak mengganggu pasien lain, kubelai pipi Viona yang masih menangis. Meminta maaf karena menahan semuanya sendiri, juga mengerti bahwa seharusnya aku bicara padanya. Bukankah aku yang bilang jika dia adalah penyebab sekaligus penawar stresku? Maka itulah arti hadirnya untukku.
"Maaf saya membuat Nona khawatir. Belakangan saya memang nggak enak badan," kataku saat tangisannya mereda.
"Kamu tahu dokter tadi bilang apa? Kamu malnutrisi, Rin! Kelelahan, stres, akhirnya makan nggak teratur kan? Kamu kenapa sih?"
Ada banyak sekali yang kupikirkan hingga akhirnya pingsan saat menyetir. Sudah jelas hanya sampai sinilah beban yang bisa diterima otak dan mentalku. Aku harus membaginya, sekalipun Viona merasa terbebani. Sebisa mungkin aku tak ingin melihatnya kesulitan, jangan sampai terjadi karenaku.
"Nona, bisa tolong tutup tirainya?," tanyaku sembari memaksa diri untuk duduk meski denyutannya menggila.
Kala tirai tertutup sempurna, kutarik lengan Viona dan kupeluk dirinya. Aku membutuhkannya, tak terpikirkan cara selain ini.
"Rin?"
"Maaf, tapi saya masih membutuhkan Nona. Sebentar saja, ya?"
Saran dokter untuk mengatur pernapasan saat stres kulakukan sekarang, semoga rasa sakit ini segera pergi. Bisa kurasakan lengan Viona di bahuku, kembali terisak setelah sempat berhenti menangis. Dasar cengeng, masih belum berubah saja dari kecil. Kubersihkan sisa air matanya dengan lengan kemeja, menunggunya tenang, dan kami hanya saling diam. Otakku masih sulit berpikir, sedangkan dia mungkin tak tahu harus berkata apa. Suasana sunyi terpecahkan oleh bunyi tirai yang disibakkan tiba-tiba, Bu Selena datang membawa tas kecil dan segera meraba dahiku, mengelupas plester demam, lalu dengan tenaga berlebihan menempelkannya di dahiku. Bisa tidak sih dia bertindak hati-hati? Aku kan sedang sakit, nyeri di kepalaku malah makin menjadi setelah ditempeli plester.
"Rin, hadiah kamu lupa terus. Sori ya," beliau memberiku sebuah kotak yang dibungkus rapi lengkap dengan pita.
"Hadiah apa Bu? Ulang tahun saya sudah lewat lama," meski berkata demikian, kubuka saja pembungkus kotak dan mendapati tulisan Jepang di kardusnya.
Apa ya? Belum juga terbuka sepenuhnya, Viona lebih dulu merebut dan melepas bungkusan hingga aku tahu persis apa isinya meski tak paham tulisannya. Untuk orang sepertiku, angka 0,01 itu jelas sekali apa maksudnya. Kuusir Viona dan kembali menutup tirai, ibunya yang gila ini harus kuapakan?!
"Masih sering check in, Rin?," tanyanya yang kini duduk di kursi menggantikan putrinya.
"Belakangan nggak pernah lagi, saya berusaha me-manage stres saya sendiri, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretary's Secret
RomanceHarina adalah seorang sekretaris direktur yang juga merangkap sebagai pengasuh putri tunggal atasannya. Diluar jam kerjanya, penampilannya sangat berbeda dan seringkali check in dengan perempuan panggilan. Dia juga sering ke warkop untuk main game o...