7

3 1 0
                                    

VIONA

Imel berubah, dan aku begini-begini saja. Perubahannya bahkan disadari semua orang tanpa terkecuali. Dia yang biasanya selalu polos tanpa riasan sekarang tampak manis dan cantik berkat make up tipis, rambutnya yang dulu selalu diikat asal-asalan kini digerai dan tampak mengkilap. Di cat coklat juga. Kacamatanya digantikan softlens, yang tidak berubah dan membuatnya bisa langsung dikenali adalah ransel Hello Kitty-nya. Penampilannya memang berubah total, tapi secara keseluruhan dia masih Imel yang sama.

"Ternyata benar kata orang, kalo udah jadi mantan bakal lebih cantik."

Dengan lumpia di tangannya Zein menatap Imel yang berjalan menuju kursi kami. Omongannya aneh, memangnya sejak kapan Imel betulan jadi mantannya?

"Kok kalian nggak makan?," tanya Imel yang duduk di depanku. Kantin kalau penuh sesak begini jadi malas beli sesuatu.

"Ntar aja deh," jawabku. "Eh, Mel. Kamu bener balikan sama Joan? Kasian nih Zein, katanya menyesal setelah lihat kamu jadi cantik."

Imel tertawa sementara Zein menggigit lumpianya. Sepertinya dia betulan kesal.

"Matanya dipasang, bro. Jangan digadaiin," komentar Imel yang minta lumpia Zein segigit.

"Eh main serobot aja! Duitmu abis buat ke Sephora apa gimana, Mel?" omel Zein.

Perdebatan seru keduanya layak untuk disimak, aku diam saja menonton mereka. Seperti yang semua orang tahu, Zein nggak pernah serius dalam berhubungan dengan pacar-pacarnya. Rekor terlamanya sebulan, tercepat sehari. Nah Imel pun demikian, mereka sepakat mengakhiri 'kontrak' waktu ketemu Joan —pacar Imel waktu SMP—. Yang membuatku lebih melongo lagi, dia juga ternyata sudah 'lulus' alias one night stand dengan si Joan yang bahkan baru ketemu sekali sejak lulus itu. Dari mana dia dapat keberanian yang mengerikan begitu sih? Dengan begini, praktis cuma aku seorang yang belum 'lulus' di kelas.

Itu juga yang kadang membuatku kesal dengan Mas Hari. Kucoba berbagai cara dia tetap nggak pernah terpancing sedikit pun. Memang sih kami bukan pacar, aku juga paham kalau dia lebih nyaman dengan status teman denganku. Aku nggak memaksa dia untuk jadi pacarku, nggak penting juga. Kalimatnya dua malam lalu sudah cukup membuatku yakin dengan perasaannya, kukira bakal diajak check in setelah ciuman yang di luar kebiasaan itu tapi lagi-lagi kembali ke awal. Selalu begitu.

Kalaupun bisa dibilang mendekati, itu adalah momen saat kami check in dulu. Sesulit ini ya jika pasanganku jauh lebih dewasa. Padahal cowok umur dua puluhan kan harusnya berada di puncak gairah seksualnya, kata Ela sih. Dia nggak pernah keberatan dengan ciuman, tapi nggak pernah lebih juga. Anomali banget. Dia cuma menganggapku anak kecil atau apa sih? Bukannya dia yang bilang kalau menyukaiku juga? Ck! Tahu begini aku memilih mundur saja, percuma punya gebetan orang dewasa kalau pasif.

*

Belakangan aku jarang lihat Ririn deh, atau memang aku yang jarang di rumah ya? Kangen juga kalo jarang ketemu. Dipikir lagi, memang aku yang sibuk sendiri sama Mas Hari. Ririn tetap mengantar-jemput, tetap menyiapkan makan dan membangunkan aku. Dia yang statis dengan senyuman sopannya selalu telaten menghadapiku. Hari Sabtu gini dia ngapain ya? Saat aku ke dapur kudapati dia berjongkok di depan oven, dia bikin sesuatu ya? Kangen deh sama kue-kue buatan Ririn.

"Bikin apaan, Rin?," tanyaku ikut berjongkok.

"Eh, Nona. Bikin cinnamon roll, tadi saya lihat resepnya kok kayaknya gampang."

"Oya? Mau dong!"

"Nanti ya, kalau matang saya antar ke kamar...."

Aku menggeleng dan menepuk bahunya. "Nggak usah, aku bantuin kamu aja. Oke?"

Secretary's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang