14

6 1 0
                                    

HARINA

Sial, tenggorokanku sakit karena tadi tersedak es kopyor waktu Viona tahu-tahu berteriak dari belakang. Sekarang dia malah makan mi kuah dengan riang gembira seolah itu makanan paling lezat di dunia. Nona besar ini terdidik makan makanan sehat, jadi aku yakin meski dia kos waktu kuliah tak akan pernah ada mi instan dalam darahnya. Lucunya, begitu bertemu denganku dia malah mengeluh lapar dan minta dibuatkan mi kuah. Tahu yang lebih konyol? Aku menuruti perintahnya. Penyakit kerjaan memang sulit dihilangkan.

"Makasih mi kuahnya. Enak deh," katanya dengan senyuman lebar nan bahagia. Tanganku jadi gatal ingin mencubit pipinya.

"Kamu buntutin aku dari sekolah kan?," tembakku yang tepat mengenai sasaran.

"Kok tahu?!"

"Kalo udah umur segini jadi sensitif sama hal di sekitar kita, Vi."

"Emang sekarang umur berapa sih? Baru 40 tahun kan?"

Aku menghela napas berat dan membuangnya secara dramatis. "Belum. Masih 38, bulan depan 39. Tahun depan baru genap 40."

Tawanya mengingatkanku akan sepenggal kenangan kami dulu, saat aku belum menyadari pasal keparat itu. Melihatnya baik-baik saja setahun belakangan membuatku merasa tak perlu lagi menanyakan kabarnya untuk berbasa-basi. "Pak Wildan sehat, Vi?"

"Daddy baik-baik aja, udah pensiun sekarang. Pindah ke Bandung sama Mommy."

"Oya? Jadi beneran tinggal di Rancaekek?"

"Iya, tempatnya Mommy."

Impian masa tua mereka tercapai. Syukurlah mereka baik-baik saja. "Soma gimana?"

"Dia baru aja nikah bulan lalu, udah pindah ke Yogya."

Eh? Kalau begitu... "Kamu sendirian dong di rumah?"

"Nggak papa, udah biasa kok."

Kalimat yang seharusnya memang biasa saja itu rupanya mampu menusuk hatiku, mengingatkanku akan momen terakhir kami. Dulu aku yang meninggalkannya, membuatnya terpaksa harus mengurusi semua hal sendiri. Pasti berat sekali baginya tiba-tiba dihadapkan pada banyak hal sekaligus.

"Anu...."

"Ya, Vi?"

Dia menoleh ke segala arah di ruang tamuku, seakan baru menyadari betapa kosongnya rumah ini. "Emang nggak ada apa-apa, tv segitu gedenya juga jarang nonton. Nggak penting juga, asal nyaman buat tidur."

"Nggak tidur di kamar?," suaranya terdengar khawatir.

Aku menggeleng, memberinya senyuman untuk menjawab kekhawatirannya. "Nggak, lebih praktis tidur di sini. Nggak ada yang bertamu juga kok."

"Ini ada, aku kan tamu."

Ya ampun, masih suka bercanda saja dia. "Tamunya nggak tahu diri."

Lagi, tawa kecilnya terdengar menggema di ruangan yang memang hampir kosong ini. Sejak kutinggali, baru kali ini rumahku terasa begitu hidup. Baru kusadari juga ternyata lima tahun terakhir rumah ini tak ada bedanya dengan sebelum ditempati, masih tetap kosong dan sunyi.

"Aku manggilnya apa ya? Dari tadi aku belum manggil sama sekali."

Wajahnya tampak malu-malu dan sungkan, sesuatu yang baru kini kulihat darinya. Dia bisa berekspresi begitu juga ya? Manis sekali! "Apa dong? Kan kamu lagi di rumahku, manggilnya apaan coba?"

"Ririn!"

"Hei, aku bukan susmu."

"Mas Hari!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Secretary's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang