HARINA
"Oh? Mbak Ningsih mau mampir besok Minggu?"
"Iya. Maaf merepotkan Bapak, Ibu ingin bertemu sebentar kalau Bapak berkenan."
"Boleh, boleh. Mumpung nggak ada agenda ke mana-mana, nanti saya boleh ajak Mbak Ningsih jalan-jalan kan, Rin?"
"Silakan, Pak."
Sekarang aku tahu dari mana ekspresi lucu Viona saat kegirangan, persis bapaknya. Aku undur diri dari ruang direktur setelah beres urusan tanda tangan dokumen sekalian meminta waktunya besok Minggu. Semalam ibuku menelepon, katanya ada perlu sebentar ke Surabaya dan ingin mampir ke rumah dengan Arima. Kangen Pak Wildan. Hubungan antara ibuku dan Pak Wildan mirip denganku dan Viona, atasan dan bawahan namun kasual. Ngomong-ngomong, si Arima nanti hanya berdua saja dengan Ibu kan? Semoga istrinya tidak ikut ke Surabaya, aku punya sejarah buruk dengannya.
Agenda minggu ini nyaris kosong selain dua-tiga pertemuan Pak Wildan dengan kolega. Akhirnya bisa bersantai setelah sekian lama. Tanpa bahan meeting yang harus kusiapkan, tanpa tiket yang harus dipesan juga. Kuharap ritme kerja seperti ini bisa bertahan sampai minggu depan yang juga minim agenda. Rekan seruanganku juga ikut bersantai karena memang masa tenang setelah RUPS. Beberapa malah bermain monopoli daring. Tentu sudah kuperintahkan untuk silent mode biar tidak ketahuan kalau mereka sebenarnya sedang bermain, bukan bekerja. Sesekali gabut kan kantor tak akan merugi.
"Pak, saya minta rotinya ya!," Indri berseru dari mejanya dan berlari kecil ke arah mejaku.
"Ambil, ambil. Nih, bawa aja semua," kuberikan beberapa plastik roti konde yang dibelikan Viona. Mungkin karena baru keluar dari kulkas makanya belum berjamur.
"Bapak belinya kok banyak amat? Dendam karena nggak pernah kebagian ya?"
"Ya gitulah."
"Ih, cuek deh!"
Si Indri ini tinggal ambil roti saja masih bawel dan komentar ini-itu. Begitu melihat lirikan mataku yang risi dia tersenyum dan membawa seluruh roti untuk dibagikan. Aku makan sebiji saja butuh seharian, baru kusadari kalau hokkaido dome ternyata besar sekali porsinya. Padahal seingatku dulu waktu kuliah ukurannya sedikit lebih besar tapi aku sanggup menghabiskannya dalam sekali makan sambil mengerjakan tugas. Hebat, seluruh kalori yang masuk ke tubuhku saat itu menjelma jadi skripsi serta tesis.
Di saat minim pekerjaan biasanya pikiran jadi ke mana-mana. Sebentar lagi jam istirahat Viona, jam istirahatku lima belas menit setelahnya. Biasanya aku membalas pesan-pesannya di sela kesibukan, tapi hampir dua minggu ini dia berhenti total menghubungiku. Jujur saja ya, aku merasa aneh sekaligus sangat asing dengan yang kurasakan. Mungkin karena kali ini lawanku anak SMA jadi ikut ketularan childish. Awalnya aku menanti-nanti chat dari Viona sepulangnya kami dari Food Junction dulu, tapi setelah berhari-hari kutunggu ponsel pribadiku masih saja sepi notifikasi. Aku bilang aneh tadi karena justru aku merindukan kecerewetannya meski tiap hari kami bertemu. Ada yang beda di pesannya dan tidak akan pernah kudapati pada Viona selama sosokku bukan 'Hari'.
Bunyi kursi bergeser secara serentak menandakan jam istirahat tiba, selagi yang lain keluar aku justru diam di tempatku. Menimbang apakah harus menghubungi Viona lebih dulu sekarang, atau biarkan saja dia bermain. Aaah, sial! Aku tak suka sakit kepala karena stres, apalagi sekadar menunggu satu pesan dari bocah yang bahkan mencuci bajunya sendiri pun tak bisa. Jadi, tanpa berpikir dua kali kutunggu dengan sabar nada dering monoton di telingaku berganti suara manusia. Ayo angkat, Vi. Terputus. Tumben dia meninggalkan ponselnya. Kuhubungi sekali lagi dan kali ini tersambung di dering ke dua.
"Halo?," Viona terdengar ketus dan cuek di telingaku.
"Apa kabar, Vi?," tanyaku yang langsung kusesali. Sudah jelas dia marah padaku kenapa tanya kabar, bodoh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretary's Secret
RomanceHarina adalah seorang sekretaris direktur yang juga merangkap sebagai pengasuh putri tunggal atasannya. Diluar jam kerjanya, penampilannya sangat berbeda dan seringkali check in dengan perempuan panggilan. Dia juga sering ke warkop untuk main game o...