VIONA
Ririn dari kemarin lebih ceria. Wajar sih, kakaknya datang dan menginap sampai besok. Sebenarnya aku nggak masalah, justru aku senang melihatnya punya teman seumuran yang bisa diajak bicara. Kalau sama aku jelas nggak mungkin, posisiku di atasnya. Dengan ART lain juga kayaknya dia nggak akrab, mereka menganggap Ririn sebagai atasan juga dan bersikap sopan. Walaupun aku agak kesepian karena Ririn pasti langsung ke kamar setelah pekerjaannya selesai.
Waktu aku bilang soal itu ke Mas Hari, dia bilang memang lebih enak kalau punya seseorang yang seumuran sebagai teman dekat. Misalnya aku dan Imel. Selama ini Ririn setahuku selalu sendirian, paling cuma rekan kerjanya di kantor yang bisa jadi mendekati usianya tapi nggak dengan jabatannya. Susah juga ya kalau selalu jadi atasan. Apalagi Ririn terlalu pintar, pasti lebih sulit lagi menemukan teman yang pas.
"Ririn butuh pacar deh," kataku di akhir cerita. Mobil Mas Hari memasuki kompleks dan tinggal mencari belokan menuju blok rumahku.
"Nggak, Vi. Pacar itu justru kadang nggak bisa kita bagi cerita atau masalah. Kalo sama teman kan bebas mau ngomongin apa aja. Kayak kita."
Iya juga, justru hubungan kami baik-baik saja kan karena nggak pacaran. Kami bebas saling mengeluh dan membicarakan kekurangan masing-masing di depan orangnya langsung tanpa perlu berpikir bakalan putus. "Tapi kalo Pak Ari pulang Ririn jadi sendirian lagi, kasian juga dia."
"Yaa, cowok kan nggak perlu curhat setiap hari kayak cewek. Sesekali juga cukup, itu juga yang diomongin nggak jauh-jauh dari urusan cewek biasanya."
"Oh ya? Ririn punya pacar dong?"
Dengan sudut matanya Mas Hari melirikku kemudian bergumam, "Alah mbuh, Vi! Muter ae koyok kitiran."
"Jangan ngomong bahasa Jawa dong! Ih, kayak Ririn aja. Aku nggak ngerti nih!"
"Bodo amat! Buruan turun!"
Haish! Menyebalkan! Kenapa jadi bertengkar sih? Kubanting pintu mobilnya dan berderap ke mesin finger print tanpa peduli omelannya kalau mobilnya nggak ikut asuransi. Memangnya cuma dia yang bisa bersikap bodo amat, aku juga dong! Ya ampun, mendadak aku lelah sekali. Coba kalau Mas Hari temperamennya lebih kalem, nggak bertengkar tiap ketemu begini kan? Tapi ya sudahlah, gara-gara itu juga aku jadi menyukainya. Aku nggak berhak komplain soal tabiat orang. Dia sendiri kalau diberi kesempatan komplain soal aku juga pasti disebutkan dengan senang hati.
"Nona kok di sini sih? Ngapain jongkok gitu? Ntar kesemutan lho."
Otakku berpikir sangat lambat, nggak bisa langsung mengenali siapa pria di depanku ini. Wajahnya persis Ririn, tapi dia berkacamata makanya mirip Mas Hari. Tapi pasti bukan keduanya, mereka nggak ada di rumah ini. Ah iya, Pak Ari. Kakaknya Ririn. Astaga, kenapa aku jadi bodoh begini sih?
"Udah dibilangin jangan panggil 'Nona'," protesku.
"Kebiasaan dengerin Ririn sih, sungkan juga kalo langsung panggil nama," balasnya yang menawariku tumpangan ke rumah. Tanpa berpikir lagi aku duduk di motor yang dikendarainya.
"Pokoknya cuma Ririn yang boleh panggil aku 'Nona', yang lain nggak boleh."
"Padahal dia manggil gitu kan gara-gara salah baca namamu."
"Ya biarin dong! Pak Ari bawel deh!"
Nggak adiknya, nggak kakaknya, paling jago kalau membantah. Aku juga tahu kalau Ririn memanggilku 'Nona' karena salah baca namaku waktu awal bekerja dulu. Daddy kan tulisannya jelek, huruf V dan I yang disambung jadi mirip N. Mommy bilang sejak awal aku dipanggil 'Nona' sama Ririn, lainnya memanggilku Viona tanpa tambahan 'Mbak' atau 'Ce'. Tapi justru dengan itulah aku bisa langsung mengenalinya kapan pun dan di mana pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretary's Secret
RomantizmHarina adalah seorang sekretaris direktur yang juga merangkap sebagai pengasuh putri tunggal atasannya. Diluar jam kerjanya, penampilannya sangat berbeda dan seringkali check in dengan perempuan panggilan. Dia juga sering ke warkop untuk main game o...