Tatapan

10 2 0
                                    

Datanglah hari di mana rapot hasil ujian semester di bagikan kepada orangtua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Datanglah hari di mana rapot hasil ujian semester di bagikan kepada orangtua. Gue yang nggak pintar amat dan nggak bodoh amat rada takut, sih, untuk lihat nilai gue. Terutama mata pelajaran Matematika, Ekonomi, Sosiologi, Geografi, Sejarah, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris- ya, semuanya, sih!

Kali ini, Ibu gue yang akan ambil rapot semester pertama di kelas sepuluh. Lebih takut kalau beliau yang ambil, karena kalau nilainya udah jelek pasti di amuknya langsung di tempat nggak nunggu pas di rumah. Tapi nggak apa-apa, lah, palingan sampai rumah udah lupa.

Seperti biasa, sebelum jam pembagian rapot pasti sekolah minta tolong murid-murid di setiap kelas untuk kerja bakti membersihkan dan membereskan kelas mereka masing-masing.

Ini, lah, kami.

Memegang sapu, mengisikan air ke ember, menuangkan pembersih lantai, menyemprotkan pembersih jendela, mengelap meja dan jendela, membersihkan papan tulis dengan minyak kayu putih, dan masih banyak lagi.

Gue, sih, merasa sudah sangat ahli dalam semua bidang bersih-bersih ini. Semasa gue duduk di bangku Sekolah Dasar pun udah di suruh melakukan hal ini. Jadi nggak akan kaget dengan bentukan kain pel dan sapu ijuk.

Yang bikin bete, sih, dari kerja bakti dadakan ini hanya satu.

AKAN ADA BANYAK DARI TEMAN GUE YANG NGGAK IKUT KERJA BAKTI!

Itu dulu, untungnya sekarang udah mulai beranjak dewasa, sih, ya. Semua teman gue ikut berpartisipasi dalam kegiatan kerja bakti ini, tau posisi mereka harus melakukan apa di saat teman yang lain lagi sibuk.

Saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas pagi, pekerjaan kami pun selesai. Karena sekitar lima belas menit lagi, wali kelas kami akan kembali masuk ke kelas dan bersiap-siap menyambut kedatangan orangtua kami.

"Terus, murid-muridnya ngapain?"

Biasalah, nelpon orangtuanya untuk nanya posisi mereka udah di mana, jemput orangtua di gerbang depan yang melelahkan harus turun tangga tiga lantai dan naik tangga lagi tiga lantai. Lelah, bukan? Dulu masih belum jompo.

***

Lagi dan lagi, orangtua dari Arsy suka di lama-lamain datangnya. Sampai yang tadinya gue berharap Ibu gue ketemu orangtua Arlen jadi putus harapan, deh.

Orangtuanya Arlen udah datang duluan sedangkan Ibu gue? Tidak ada kabar. Gue nggak sampai nelpon Ibu juga ya biar Ibu cepat jalan ke sekolah. Beliau juga ada keperluan lain dan nggak mungkin cuma karena hal sepele yang gue mau, jadi ngerepotin orangtua sendiri.

Ibu gue adalah wanita karir yang sangat hebat! Gue juga salut sama Bapak gue karena beliau dengan sangat bijak membiarkan sang Istri bekerja. Memang, sebagai Ibu Rumah Tangga pun udah sangat memberatkan para istri. Harus bisa membagi waktu antara keluarga, rumah, pekerjaan, dan waktu untuknya mengistirahatkan diri.

Ibu dan Bapak pun pernah berpesan sama gue, bahwasanya seorang wanita jika sudah menjadi Istri nggak melulu harus diam di rumah, mengurus rumah, anak, dan suami. Kalau kita sebagai wanita bisa menjadi Istri yang lebih produktif kenapa nggak? Selama pasangan masih mengizinkan, tancap gas aja lakuin semua aktivitas yang sedari dulu kita impikan dan inginkan. Karena pada akhirnya, dengan bantuan Istri melakukan kegiatan yang menghasilkan bisa membantu ekonomi keluarganya, bukan?.

***

Setengah jam kemudian Ibu gue datang dan buru-buru masuk untuk nerima rapot dari wali kelas gue. Nggak berselang lama, orangtuanya Arlen keluar dari kelas. Gue tetap pada posisi gue, duduk di bangku panjang depan kelas menghadap pintu. Gue berusaha membuat penglihatan gue nggak mengarah ke orangtuanya Arlen.

Kenapa gue harus malu, ya?Nggak tau, ya, gue ngerasa malu aja. Ok, kebiasaan yang nggak pernah bisa hilang. Nanya sendiri dan jawab sendiri, mandiri.

Di sini orangtuanya Arlen nggak buru-buru pulang, beliau masih ngobrol sama salah satu orangtua murid yang lain. Setelah beberapa menit gue nguping pembahasan orangtua yang isinya, ya, nggak spesial hanya bahas nilai anak masing-masing. Akhirnya orangtuanya Arlen pamit ke lawan bicaranya dan salam ke kami semua.

Otak gue terus berdebat dengan perasaan gue, antara gue harus diam dengan pandangan ke arah lain atau natap orangtua Arlen sambil nunjukin senyuman termanis gue.

Nggak ada petir nggak ada gledek, tau-tau pandangan gue langsung mengarahkan ke posisi orangtuanya Arlen dan juga Arlennya.

"Duluan, ya", ucap orangtuanya Arlen tepat di hadapan gue dengan tersenyum dan menganggukan kepala. Gue nggak tau, ini beneran gue doang yang di sapa atau sebenarnya semua teman gue yang ada di bangku ini.

Masa bodo, lah! Yang penting gue senang.

Gue hanya mampu membalas anggukan dan senyuman kaget! Gue beneran kaget berat!!! Gue nggak nyangka di posisi gue lagi jatuh hatinya ke anak beliau, orangtuanya malah yang bikin gue makin kepincut. Eh, tapi tenang! Kepincutnya bukan ke Bokapnya. Tetap, kok, ke sang Anak.

Di tambah mata gue tau-tau ganti arah ke sisi kiri orangtuanya Arlen. Sekarang pandangan gue tepat menatap mata Arlen.

Lagi dan lagi tiba-tiba aja waktu memberikan kesempatannya kepada gue untuk meresapi segala momen-momen langka yang nggak akan mungkin bisa terulang. Waktu memberikan kesempatan ini untuk gue menatap matanya lekat-lekat.

Gue benar-benar yakin kalau kali ini gue nggak berkhayal atau pun berhalusinasi. Ini benar-benar terjadi, dia natap gue tanpa eksperesi tapi gue ngerasa tatapannya nunjukin kalau dia mau ngomong "gue duluan". Agak menduga-duga tapi jujur, itu yang gue rasakan saat gue natap mata dia.

Masih ingat, kan, Arsy itu seperti apa? Nggak bisa di buat terbang terlalu lama. Karena takut akan kata patah hati.

Saat itu juga setelah waktu capek-capek memperlambat detik, gue malah memutus kesempatan itu. Gue membuang pandangan gue ke lain arah yang pada saat itu gue nggak tau pandangan Arlen apakah masih tetap pada tempatnya atau sama dengan gue.

Jeleknya gue di sini di saat gue di kasih kesempatan gue sama sekali nggak pernah menggunakan kesempatan itu dengan baik.

Sama halnya saat gue di kasih kesempatan untuk bisa ngobrol berdua sama Arlen. Tapi apa? Gue malah berharap Tuhan bikin dia kembali duduk pada tempatnya.

Pada akhirnya gue nyesel, mohon-mohon ke Tuhan untuk kembali kasih kesempatan itu ke gue di kemudian hari. Gue rasa Tuhan ogah untuk memberikan kesempatan kedua buat gue. Ia tau kalau hambanya yang cemen ini nggak akan pernah jadi hamba yang superior untuk masalah asmaranya.

Tuhan tau hambanya yang satu ini, bernama Arsy, tidak pernah mampu memulai suatu hubungan dengan lawan jenis.

Karena rasa suka dan jatuh hati yang seorang Arsy lalui hanya akan menggebu-gebu saat di awal seorang Arsy memperjuangkan perasaannya seorang diri.

Tapi di saat sudah dapat, Arsy nggak akan bisa bertahan dengan hubungan itu.

Membosankan menurutnya.

firdaarich, Nov 25, 2021

the Arsy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang