"Jangan, jangan, Arsy aja"

18 2 0
                                    

Memulai hari dengan belajar Ekonomi! Untung masih duduk berkelompok, jadi kalau ada apa-apa bisa diskusi sama teman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Memulai hari dengan belajar Ekonomi! Untung masih duduk berkelompok, jadi kalau ada apa-apa bisa diskusi sama teman. Kalian tau, nggak? Lagi dan lagi gue sekelompok sama Arlen. Sepertinya Tuhan tau kalau salah satu hambanya lagi jatuh hati. Tapi gue dan Arlen duduknya nggak berdekatan, kami dihalangi oleh salah satu teman kelompok kami, Rio.

Awalnya kelompok kami dengan kelompok lainnya hanya di suruh berdiskusi mengenai soal yang sudah di bagikan secara acak. Tapi tiba-tiba jadi di suruh maju untuk mengerjakan soal lainnya dengan perwakilan satu orang dari setiap kelompok. Di kelompok ini ketuanya bukan gue, tapi teman gue yang lain. Jadi tanggungjawab gue nggak perlu besar-besar amat, lah, ya.

Kami di beri waktu lima menit untuk berdiskusi mengenai soal Ekonomi yang berupa hitung-hitungan. Lima menit, tentu nggak cukup bagi kelompok gue. Tapi mau nggak mau harus bisa mengatur waktu. Karena kalau sampai kelompok gue dapat poin terendah, bisa-bisa di hukum.

Saat waktu sudah habis guru Ekonomi gue, Bu Levi, sedang menimbang-nimbang akan memilih kelompok siapa. Kita yang dengan percaya diri yakin kalau kelompok kita nggak akan di pilih, hanya diam sambil menatap lembar jawaban.

Kepercayaan diri kelompok kami runtuh, Bu Levi menunjuk kelompok dua yang merupakan kelompok gue.

"Ayo maju, perwakilan kelompok dua. Ibu maunya itu tuh, si Rio. Ayo maju buruan kerjain nih soal pertama! Kalau salah minus satu, ya, kelompok dua"

"Waduh! Bener nggak, nih, jawaban kita?", ucap Putri. Putri kebetulan ketua dari kelompok gue. Sudah pasti dialah orang yang paling panik di antara enam orang lainnya.

"Udah maju aja dulu si Rio. Minus satu, doang! Siapa tau ini bener, nih, jawaban kita"

"Iya Rio maju aja, deh, dulu. Namanya juga belajar", si bijak Putra.

Akhirnya Rio memberanikan diri untuk maju dan mengerjakan soal. Memang di antara tiga puluh enam siswa di kelas gue, si Rio inilah yang paling sering diincar oleh Bu Levi. Dia bisa di bilang hanya kurang mampu untuk mata pelajaran hitung-hitungan. Makanya sering tidak mengumpulkan tugas, di tambah Bu Levi ingat nama dia terus. Kena, deh, jadinya kelompok gue.

"Tapi nggak boleh bawa lembar jawaban kelompok, ya!"

"Mati!", ucap Rio.

"Yah, gila ini, mah, namanya! Lo inget nggak, Rio? Please, Rio! Inget ya! Please banget ini, mah!", mohon Putri dengan panik.

"Ayo, Yo! Lo pasti bisa! Nggak apa-apa minus", ucapku.

"Maaf, ya, kalau salah. Ah, nyebelin, nih, Bu Levi", ucap Rio dengan berbisik.

"HAHAHA, mampu nggak, nih, si Mas Rio? Kelompok dua siap-siap minus, ya, kalau salah", peringatan dari Bu Levi.

Setelah Rio mengerjakan selama lima belas menit, tanpa bantuan dari anggota kelompok gue. Dia nggak berhasil menjawab soalnya dengan baik. Tapi Bu Levi tetap mengajarkan saat Rio mengerjakan soal itu seorang diri. Kelompok gue juga nggak mendapatkan pengurangan poin. Sepertinya Bu Levi cuma mau menguji kemampuan Rio dan mengajarkan Rio dengan jelas.

Bu Levi melanjutkan soal yang kedua. Semua kelompok tetap harus mengerjakan di lembaran yang sudah di kasih Bu Levi. Kali ini bukan berupa soal hitungan, hanya soal teori yang bisa di bilang mudah.

"Soal kedua, gampang, nih! Pasti pada bisa. Kalau nggak bisa, Ibu suruh maju, ya, ke depan kelas! Nyanyi"

"Oke! Pertanyaannya, apa inti masalah ekonomi?"

"Kebutuhan manusia dan alat pemuas kebutuhan, bukan?", tanya gue ke seluruh anggota kelompok. Kebetulan tes kelompok ini tidak boleh membuka buku sama sekali. Jadi kita cuma bisa menebak dan berdiskusi, itu pun kalau ingat dengan catatan yang sempat di buat.

"Ya udah sana jawab, Arsy!", ucap Putri.

"Nanti salah, nggak?", tanya gue yang ragu dengan jawaban yang gue punya.

"Lo aja, deh, Elva yang jawab", ucap Rio.

"Lah?! Kan jawaban Arsy, dia yang harusnya jawab"

"Ya udah, deh Arlen aja", ucap Putri frustasi.

"Jangan! Jangan! Arsy aja", ucap Arlen sambil nunjuk gue. Mendengar nama gue di sebut sama Arlen, gue langsung nengok ke arah dia. Agak sedikit kehalang Rio tapi kelihatan, sih, muka Arlen senyum ke arah gue. Gue langsung buru-buru buang muka.

"Hah?! Tadi gue nggak salah dengar, kan?! Arlen nyebut nama gue?", ini hanya dialog batin.
Sudah tau, kan, kebiasaan Arsy? Kalau Arlen udah ngaco pesonanya dan tingkahnya, apa yang akan di lakukan Arsy? Seperti biasa, berisik sama dirinya sendiri.

"Hah?! Nggak-nggak, nggak usah kalau gitu. Ngeri salah", balas gue menolak setelah sadar dari lamunan.

"Ya udah dari pada nunjuk-nunjuk nggak ada yang mau, gue aja kalau gitu", ucap Rio mengajukan diri.
"Kelompok dua, Bu!"

"Ok! Apa Rio jawabannya? Kalau salah kamu nyanyi di depan, loh"

"Kebutuhan manusia dan alat pemuas kebutuhan, itu jawaban menurut kami"

"Nah, benar! Udah mulai pintar kamu"

Setelah mendengar jawaban dari Rio, Bu Levi langsung membahas lebih jelas mengenai materi Permasalahan Ekonomi. Gue masih nggak fokus dengan situasi di kelas. Gue masih memikirkan momen saat Arlen manggil nama gue, untuk yang pertama kalinya.
"Semoga ini bukan pertama dan terakhir kalinya, deh", mohon gue pada diri gue dan Tuhan pastinya. Karena tanpa memohon padaNya, bisa-bisa Arlen lenyap.

Memang susah bikin diri gue untuk tetap fokus pada kenyataan. Kayanya gue udah kelewat mabuk sama apa yang Arlen lakuin. Mau itu menyangkut gue atau bahkan nggak. Yang padahal gue sendiri nggak tau, Arlen perasaannya gimana ke gue? Suka sama gue juga atau rasa suka gue bertepuk sebelah tangan?.

Sebenarnya, gue lebih ke nggak peduli, sih, sama perasaan Arlen. Gue cuma suka dan nggak pernah berharap lebih akan balasan untuk perasaan gue. Kalau rasa suka gue bertepuk sebelah tangan, gue nggak akan bunuh diri, kok. Tenang! Gue tau gue salah. Suka sama Arlen tapi nggak menyatakan, apa yang mau gue dapat? Singkong? Nggak bakal dapat! Kecuali gue bilang "Len, gue mau singkong" baru deh gue bisa dapat. Sama, kan, dengan perasaan?.

***

Jujur, gue kepingin cerita rasa senang gue ke Putri. Tapi gue selalu ingat pesan seseorang yang dia titipkan ke gue.

"Kalau kamu punya cerita yang menurut kamu itu menyenangkan, sedih, emosional, dan berharga. Lebih baik kamu pendam itu sekarang di diri kamu. Jangan kamu berbagi ke yang lain! Tak peduli mau sebaik apa mereka kepadamu. Karena kebahagiaan yang kamu miliki, bukan untuk orang lain."

Setiap gue ingat kalimat itu, gue nggak pernah berani menceritakan segala rahasia gue ke orang lain, sekali pun teman yang gue anggap terbaik. Terlalu sakit buat perasaan gue, kalau nantinya gue tau salah satu teman gue punya perasaan yang sama dengan yang gue rasakan. Suka sama Arlen. Lebih baik gue rasain, pikirin, senyumin sendirian. Nggak peduli orang lewat ngira gue gila! Dari pada gue gila beneran nangisin Arlen di sukain sama teman gue sendiri. Better to never tell anybody about this feeling, right?

Gue terlalu takut kembali ke momen orang-orang tau siapa lawan jenis yang gue suka. Gue nggak mau kehilangan satu teman cuma karena dia tau gue suka dia. Gue nggak mau rahasia gue jadi rahasia umum. Gue takut untuk ngerasain sakit yang kesekian kalinya. Gue udah cukup tegar sama masa lalu gue. Terus kalau gue cerita ke orang apa gue bisa menjamin orang lain nggak akan ngebongkar rahasia itu? NO! Terlalu basi buat gue kalau ada teman menawarkan diri untuk gue cerita semuanya ke mereka.

We still need a space, dude. Bisa di pastikan yang mampu ngertiin diri kita ya emang diri kita sendiri. Mau sebaik apapun orang yang datang di hidup kita nggak akan benar-benar baik.

Belajar dari diri sendiri, sih. Gue bukan orang baik soalnya.

firdaarich, Oct 11, 2021
terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini♡.

the Arsy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang