Lima Belas - Blazar

551 38 12
                                    

Double Take - Dhruv




Kedua belah tangan Nanda saling meremat dengan cemas. Untung saja pencahayaan pekarangan rumahnya cukup temaram, setidaknya mampu menyamarkan wajahnya yang entah sudah seperti apa.

Kalau Awan menyatakan perasaannya ketika Nanda belum berada di dalam kehidupannya yang sekarang, Nanda mungkin memiliki alasan cukup baik agar segalanya berjalan sesuai dengan apa yang ia impikan.

Menerima perasaan laki-laki itu tanpa pikir panjang, salah satunya.

Pergi yang jauh, kalau perlu tidak terlihat lagi oleh sepasang mata kedua orang tuanya.
Dengan kata lain, tak mendapatkan restu dari orang tuanya pun tak masalah.

Asal Nanda memiliki satu sosok yang mampu tinggal, menerimanya yang keras kepala, ingin menang sendiri—

"Kamu posesif, Rasi!!! Aku bisa gila kalau terus-terusan hidup sama kamu!!!"

Dan posesif...

Nanda memejamkan kedua matanya.
Bukan saatnya mengingat-ingat Adelia di kala seperti ini, bukan...?

Nanda harus fokus pada satu orang laki-laki yang sedang membeberkan perasaan terpendamnya dengan tulus. 

"Awan—"

"Aku nunggu," Awan mengeluarkan ponselnya cepat-cepat. Menyalakan layarnya dan menyekrol naik turun, memberitahukan kepada Nanda bahwa apa yang dikatakannya tadi bukanlah sesuatu yang mengada-ada.

"Aku nunggu, biasanya kamu bales, biasanya kita ngobrol, walau terkadang kamu lupa buat bales, tapi aku enggak masalah, aku paham kamu sibuk. Dengan Gemintang, dengan tulisan mu, kadang kamu ke kantor penerbit, belanja ini dan itu untuk keperluan rumah. Aku paham."

Awan mencoba menenangkan nafasnya yang naik-turun karena kalap, "aku juga sibuk, Nanda."

"Sibuk bikin sampler, sibuk dikomplen si aki-aki Hendrik, sibuk diomelin Kanna."

"Sibuk mikirin Gemintang..."

"Dan kamu..."

Awan mengurut pelipisnya, menyapu rambutnya ke belakang, mencoba kembali menatap kedua mata Nanda lamat-lamat, seolah membuktikan kalau apa yang tengah dirasakannya adalah sesuatu yang sungguh-sungguh.

Nanda membayangkan akan membangkang seperti apa dirinya kalau saja Tuhan mempertemukan takdir mereka lebih dahulu dibandingkan yang harus terjadi sekarang.

Mendadak sebuah bayangan keluarga yang bahagia hadir begitu saja pada pelupuk matanya.

Diluar dari hadirnya Gemintang di dalam kehidupannya bersama dengan Adelia— walau akhirnya ia mentah-mentah ditinggalkan oleh wanita itu— Nanda sedikit menyesal mengapa dirinya tidak sanggup tegas dan berani, dibandingkan harus pasrah dengan masa depan yang kata orang tuanya lebih baik, daripada berakhir mati seorang diri tanpa seseorang di sisinya.

Nanda bungkam seribu bahasa.

Dengan belum melepas tatapan satu sama lain, Awan mengeratkan rahangnya hampir putus asa.

"Aku bisa pergi sekarang kalau kamu enggak suka dengan pernyataan ku."

Awan tidak gentar dengan apa pun kemungkinan yang akan menimpanya setelah ini. Bukan masalah kepalang tanggung, namun dibandingkan harus tersiksa lebih lama dan menghabiskan waktunya untuk menyukai seseorang— yang belum tentu menganggap penting kehadirannya— adalah sesuatu yang jauh lebih menyakitkan dari pada ini.

The Smell of Rain - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang