Dua Puluh Dua - Albedo

296 36 10
                                    

Nanda membekap sepasang bibir yang terletak tidak jauh di hadapan wajahnya itu— bukan karena menolak untuk dicumbui, karena tentu saja cumbuan yang diberikan oleh bibir yang terasa lebih lembab dari biasanya itu lah yang membuatnya hampir lupa diri beberapa waktu belakangan— tapi agar tidak lagi terdengar bagaimana erangan yang keluar dari bibir tersebut begitu memanjakan telinganya.

Terasa tidak terlalu adil baginya karena kini ia bahkan mati-matian menggigiti bibir bawahnya agar tak mengeluarkan suara erangan yang sama. Kedua matanya terpejam frustrasi. Kerutan di atas permukaan dahinya menunjukkan bahwa ia juga hampir kelepasan kontrol.

"Awan—" Nanda berusaha memanggil nama laki-laki yang masih terus saja bergerak menghentakkan tubuhnya yang tidak bisa dikatakan kecil itu di atas tubuh Nanda.
Nanda sungguh kesulitan walau hanya untuk menghela nafasnya.

"Hmmmhhh..." Erang laki-laki itu, kali ini bekapan Nanda seolah tak berfungsi sama sekali.

Nanda hanya sedang tak ingin kesenangannya ini kemudian terinterupsi dengan kenyataan bahwa gadis kecil mereka akan mendengar segala perbuatan mereka dari luar kamar. Dapat dipastikan Gemintang tidak mengetahui apa pun mengenai ini, namun tidak lucu juga rasanya kalau harus berhenti di tengah jalan.

"Awan—" Tegur Nanda sekali lagi dengan suaranya yang masih terbata. 

Awan berusaha melepaskan bekapan tangan Nanda dengan menggerakkan kepalanya. Ia balas menggigit jari-jemari dan telapak tangan Nanda yang dianggapnya sangat mengganggu kegiatan pagi harinya itu.

Nanda tidak tahu menahu dengan Gemintang yang sedang diajak jalan-jalan di sekitar taman perumahan oleh Kanna dan Yoga di saat fajar juga masih sangat tinggi, maka Awan berani berbuat lebih seperti ini kepada Nanda yang tadinya masih tertidur sangat nyenyak.

Tak berapa lama Nanda terlihat meringis kesakitan karena menghadapi ulah Awan yang menggigit telapak tangannya terlalu kencang. Bukannya marah, Nanda malah merasakan betapa sensasinya sungguh luar biasa untuk sekujur tubuhnya kini.

Ditambah entah mengapa liang bawahnya malah terasa kian penuh, dan...

Sepertinya kali ini Awan berhasil membuat Nanda pusing, seperti dirinya ketika itu.

Nanda mengeratkan kedua tungkai kakinya disekeliling pinggang Awan, mencoba memberikan sinyal bahwa ia menyukai ini, dan seolah meminta Awan untuk tidak berhenti.
Tentu Nanda tidak akan membiarkan mulutnya itu agar jujur untuk hal yang satu ini. Ia masih sangat betah berlagak tak butuh, agar Awan kian giat mengambil tempat disisinya.

Sedangkan Awan, ia malah semakin menyurukkan kepalanya pada cerug leher Nanda. Tempat paling nyaman menurutnya. Dimana ia bisa merasakan temperatur tubuh Nanda yang naik. Aroma tubuh Nanda yang begitu khas ketika bangun tidur seperti ini. Denyut nadi Nanda yang menenangkan hatinya.

Segalanya...

Awan menegakkan tubuhnya demi pandangan matanya lebih luas lagi, tanpa menghentikan gerakan pinggulnya sedikit pun. Melihat bagaimana Nanda meraba perut bawahnya sambil mengerang pelan. Nanda jelas melupakan bagaimana tadi ia menggigiti bibir bawahnya bahkan hingga hampir berdarah.

"Sakit, ya...?" 

Awan kembali mendekatkan wajah mereka, sambil mencumbui bibir Nanda dengan sangat lembut, tanpa perlu repot-repot menunggu Nanda membalas pertanyaannya barusan.

Terlambat menurut Nanda, pertanyaan Awan tidak ada artinya lagi untuk ditanyakan setelah entah keberapa kalinya mereka bergumul seperti ini.
Namun, tentu karena ia senang diperhatikan, maka Nanda menganggukkan kepalanya.

Setelah itu, Awan kemudian mengalungkan kedua lengan Nanda pada sekeliling lehernya.

Melakukan ini sambil mengecupi bibir Nanda adalah hal yang menurutnya paling intim.

The Smell of Rain - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang