Dua Puluh - Synodical

330 38 10
                                    

Seperti pagi sebelumnya setelah mereka menghabiskan malam seperti malam kemarin, Awan bangun lebih dulu dibandingkan Nanda— padahal Kanna sempat bercerita bahwa tidur laki-laki itu hampir tak pernah nyenyak, maka sering dihabiskannya di depan Laptop dan menulis hingga pagi. Dengan sekujur tubuhnya yang masih setia sekali memeluk posesif tubuh Nanda dan menyadari bahwa posisi tidur mereka ternyata tidak berubah barang se-senti pun.

Kedua telinga Awan kemudian mendengar sebuah ketukan kecil pada daun pintu kamar tidur tersebut yang tengah dalam keadaan terkunci dari dalam. Untung saja terkunci. Kalau tidak, mereka berdua akan kembali dipergoki berpelukan seperti kemarin itu.

Tok! Tok! Tok!

"Ayaaahhh...? Ayah Awaaan...?"

Sebuah senyuman langsung mengembang begitu saja di atas wajahnya. Awan tidak pernah membayangkan yang seperti ini sebelumnya.
Benar-benar tidak pernah.

Mungkin terlalu cepat untuknya berkata bahwa ini bagaikan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, tapi hatinya itu terasa tidak diperbolehkan untuk tidak bahagia.

Karena pada kenyataannya kini, ia sungguh menyukai pagi ini.

Apa yang tidak menyenangkan memangnya?

Memeluk salah satu penyebab hidupnya lebih berwarna, dengan yang satunya lagi sedang mengetuk pintu, lengkap memanggil sebuah panggilannya yang baru dengan sangat menggemaskan.

Awan hanya mampu meminta bahwa yang seperti ini, akan terus menemaninya selama nafasnya masih bisa terhembus dengan sempurna.

Dan juga, satu hal yang perlu disyukuri oleh Awan lagi adalah, bahwa mereka berdua menyempatkan diri untuk membersihkan tubuh sebelum beranjak tidur, maka kini keduanya sudah sangat rapi di dalam balutan pakaian yang lengkap.

Tok! Tok! Tok!

"Ayah Awaaan...?"

"Iya, cantiiik... Sebentaaar..." Seru Awan tertahan.

Awan berusaha menarik tubuhnya dari dekapan Nanda. Membuat Nanda menggumam sebentar, lalu kembali meneruskan tidurnya.

Rasa-rasanya Awan malas sekali untuk cepat-cepat beranjak bangun, ia ingin menghabiskan waktunya dengan memandangi wajah tidur milik Nanda, hingga sore kalau perlu. Namun membiarkan Tuan Putri-nya yang tengah berada di luar kamar dan sedang kelaparan menunggu sarapannya juga bukan ide yang bagus sama sekali.

Gemintang langsung menghambur ke dalam pelukan Awan sedetik setelah pintu kamar terbuka. Rambut Gemintang yang berantakan, dan jejak basah disekeliling bibirnya yang sudah mengering, Awan hampir saja tertawa, namun kuat-kuat ditahannya. Tidak lucu rasanya buah hati kecilnya ini mengawali harinya dengan mengambek dan menjauhinya, walau hal yang seperti itu belum tentu terjadi mengingat hubungan mereka yang hangat dan tidak dibuat-buat.

Tunggu sebentar.

Awan meraba jantungnya perlahan. 

Seperti ini kah rasanya memiliki pasangan dan seorang anak yang selalu mencari-cari mu...?

Walau Awan belum mendengar secara gamblang bagaimana perasaan Nanda terhadapnya. Walau belum jelas bagaimana hubungan mereka saat ini. Awan ingin bahagia saja mulai detik ini, bahkan walau masih ada kemungkinan nanti kenyataannya tidak seperti yang ia harapkan.

Awan hanya sudah lupa bagaimana rasanya berada di tengah-tengah sebuah keluarga, dengan kenyataan bahwa ia hidup sebatang kara.
Ia hanya memiliki Panti Asuhan sebagai tempatnya berpulang hingga usianya menginjak 18 tahun, lalu memutuskan untuk pergi dan hidup mandiri.

Ingatkan Awan untuk kembali hadir di hadapan Tuhan hari minggu nanti. Untuk memohon maaf karena sudah jarang sekali berkunjung. Juga berterima kasih karena sudah Dia beri kesempatan untuk bahagia.
Anak-Nya ini memang sedikit tidak tahu diri.
Sudah lupa, namun tetap Dia beri berkah.
Manusia...

The Smell of Rain - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang