"Terima kasih ya ! kau sudah mau membagi Ayahmu denganku." Lagi lagi Luna menghapus setitik air di sudut matanya.
"Sama-sama ..." Levy tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan bersih, "tapi ... sebagai balasannya aku ingin topi ini." Levy menunjuk topi jerami milik Luna.
"Ehh !! jadi kau mau membagi Ayahmu, hanya untuk topi ini ?" Hina tak menduga, ia menatap wajah polos Levy dengan ekspresi terkejut yang tak bisa di jelaskan. Kemudian Hina menepuk jidatnya, 'keponakanku ini pandai sekali ...'
"Baiklah ... " Tanpa keberatan, Luna memberikan topi buatan Ibunya.
"Yosh !" Levy mencoba topi itu, ia tersenyum riang, "bagaimana penampilanku ? apa sudah mirip Tou-chan ?" tanya Levy pada bibinya Hina.
"Wahh ... kau mirip sekali dengan Paman." Cherry terkagum kagum, Hina tertawa kecil melihat Levy. Luna pun ikut senang melihatnya.
"Luna ... ternyata kamu disini ?" wali kelas Luna terlihat jengkel, ia sudah lelah mencarinya kemana-mana, dengan dibantu beberapa petugas keamanan kebun binatang.
"Kamu tidak boleh pergi tanpa izin seperti itu ... Bagaimana jika Ibumu memarahi pihak sekolah lagi ?" Wanita berambut pirang pendek itu menarik lengan Luna, ia sangat marah hingga tak memperdulikan sekitarnya.
Hina mencegah wali kelas yang berlaku kasar pada Luna, ia menatap tajam dengan wajah menyeramkan.
"Valentine ... beginikah kau memperlakukan anak-anak ?""Ehh ... " wanita itu terkejut saat Hina memanggil namanya, dari mana dia tahu ?
Tatapan tajam Hina berhasil membuatnya sedikit takut, ia melepaskan cengkraman tangannya pada Luna. "Aku hanya khawatir 'Nyonya' ... maaf."
Levy mengusap pelan lengan Luna yang memerah, gadis kecil itu hanya meringis pelan.
"Didepan kami saja kau berani berbuat seperti ini, bagaimana jika tak ada orang ?!!" Hina semakin marah.
Beberapa bulan yang lalu, ia mengetahui gosip dari grup wali murid, bahwa Valentine adalah guru yang suka melakukan kekerasan terhadap murid itu sebabnya ia tak di terima di sekolah manapun di Kota Mariejoa.
"Aku akan melaporkan mu pada Komisi Perlindungan Anak !" Hina menyambar ponselnya, segera menghubungi seseorang.
"Tidak 'nyonya' !!! aku mohon, aku tidak akan melakukan hal ini lagi. " Valentine segera berlutut, bahkan dihadapan para pengunjung, ataupun petugas keamanan, yang tiba-tiba saja memperhatikan mereka.
"Baiklah ... jika aku mendengar hal buruk lagi tentangmu, bukan saja karirmu yang berakhir, tapi kau juga akan masuk ke penjara."
"B-baik ... " Valentine segera mengundurkan diri dari sana, dengan membawa Luna tentunya.
'Siapa dia ? sepertinya dia memiliki koneksi untuk mengetahui segala hal tentang ku, dilihat dari pakaiannya, sepertinya dia bukan orang sembarang.' pikir Valentine, seiring langkahnya yang menjauh.
"Luna ... nanti hubungi aku ya!" Levy berteriak dari kejauhan, mengingatkan Luna pada kartu nama yang baru saja ia berikan.
"Iya !"
**
Luna baru saja pulang sekolah, dengan di antar bus sampai depan gerbang rumahnya. Ia berjalan menuju rumah itu. Rumah di tepi perkebunan jeruk yang awalnya mungil, kini terlihat jauh lebih besar, Nami sudah merenovasinya walaupun jadinya tak begitu mewah.Seketika ia merasakan kehampaan seiring setiap langkah yang diambilnya, seolah baru saja kehilangan ... kehilangan hal yang tak pernah ia miliki.
"Tadaimaa ... " ucapnya, ia mengganti sepatunya dengan sandal rumah.